PENDAHULUAN
Hemostasis
adalah proses penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak.
Untuk terjadinya perdarahan dari suatu pembuluh, dinding pembuluh harus
mengalami kerusakan dan tekanan di bagian dalam pembuluh harus lebih besar
daripada tekanan di luarnya untuk memaksa darah keluar dari defek tersebut.
Hemostasis melibatkan tiga langkah utama yaitu : Spasme
vaskular, pembentukan sumbat trombosit, koagulasi darah (pembentukan bekuan
darah).
pada bab ini kita akan membahas mekanisme hemostasis dan sistem koagulasi
serta kelainan-kelainan yang ada pada hemostasis dan penanganannya.
TINJAUAN
TEORI
1.
Hemostasis
dan Pembekuan Darah
Hemostasis berarti pencegahan
hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami cedera atau ruptur, hemostasis
terjadi melalui beberapa cara (konstriksi pembuluh darah, pembentukan sumbat
platelet, pembentukan bekuan darah sebagai hasil dari pembekuan darah dan
pertumbuhan jaringan fibrosa ke dalam bekuan darah untuk menutup lubang pada pembuluh
secara permanen).
1.
Konstriksi Pembuluh Darah
Setelah
pembuluh darah ruptur, dinding pembuluh darah yang rusak menyebabkan otot polos
dinding pembuluh berkontraksi sehingga aliran darah dari pembuluh yang ruptur
akan berkurang. Kontraksi terjadi sebagai akibat dari, spasme niogenik lokal,
faktor autakoid lokal yang berasal dari jaringan yang terkena trauma dan
platelet darah, serta refleks saraf. Refleks saraf dicetuskan oleh impuls saraf
nyeri atau impuls-impuls sensorik lain dari pembuluh yang rusak atau dari
jaringan yang berdekatan. Vasokonstriksi dari kontraksi miogenik pada pembuluh
darah terjadi karena kerusakan pada dinding pembuluh darah, untuk pembuluh
darah yang kecil, platelet mengakibatkan vasokonstriksi dengan melepaskan
sebuah substansi vasokonstriktor (Tromboksan A2). Semakin berat
kerusakan yang terjadi, semakin hebat spasmenya. Spasme pembuluh darah ini
dapat berlangsung beberapa menit bahkan beberapa jam, dan selama itu
berlangsung proses pembentukan sumbat platelet dan pembekuan darah.
2.
Pembentukan Sumbat Platelet
Trombosit mempunyai banyak cirri
khas fungsional sel lengkap, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat
berproduksi. Di dalam sitoplasmanya terdapat faktor-faktor aktif seperti :
a.
Molekul aktin dan myosin , merupakan
protein kontraktil sama seperti yang terdapat pada sel-sel otot dan juga
protein kontraktil lainnya yaitu trombostenin,
dapat menyebabkan trombosit berkontraksi.
b.
Sisa-sisa retikulum endoplasma dan
aparatus Golgi, berfungsi mensintesis berbagai enzim, terutama menyimpan
sejumlah besar ion kalsium.
c.
Mitokondria dan sistem enzim, mampu
membentuk adenosine trifosfat (ATP)
dan adenosit difosfar (ADP)
d.
Sistem enzim yang mensistesis
prostaglandin yang merupakan hormon lokal, menyebabkan berbagai reaksi pembuluh
darah dan reaksi lokal lainnya.
e.
Faktor stabilitas fibrin
f.
Faktor pertumbuhan (growth factor),
menyebabkan penggandaan dan pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot
polos pembuluh darah, dan fibroblast, sehingga menimbulkan pertumbuhan selular
yang akhirnya memperbaiki dinding pembuluh yang rusak.
Membran sel trombosit, di
permukaannya terdapat lapisan glikoprotein yang mencegah pelekatan dengan
endotel normal, tetapi menyebabkan pelekatan dengan daerah dinding pembuluh
yang cedera terutama pada sel-sel endotel yang cedera dan melekat pada jaringan
kolagen yang terbuka di bagian dalam pembuluh. Selain itu, membran mengandung
banyak fosfolipid yang mengaktifkan berbagai tingkat dalam proses pembekuan
darah.
Trombosit melakukan perbaikan
terhadap pembuluh yang rusak didasarkan pada beberapa fungsi penting dari
trombosit itu sendiri. Pada waktu trombosit bersinggungan dengan permukaan
pembuluh yang rusak, terutama dengan serabut kolagen di dinding pembuluh,
sifat-sifat trombosit segera berubah. Trombosit mulai membengkak, bentuknya
menjadi ireguler dengan tonjolan-tonjolan yang mencuat dari permukaannya,
protein kontraktilnya berkontraksi dengan kuat dan menyebabkan pelepasan
granula yang mengandung berbagai faktor aktif. Trombosit menjadi lengket
sehingga melekat pada kolagen dalam jaringan dan pada protein (factor von
Willebrand) yang bocor dari plasma menuju jaringan yang trauma, trombosit
menyekresi sejumlah besar ADP, dan enzimnya membentuk tromboksan A2.
ADP dan tromboksan kemudian mengaktifkan trombosit yang berdekatan, dan karena
sifat lengket dari trombosit tambahan ini maka akan menyebabkan melekat pada
trombosit yang sudak aktif. Dengan demikian pada setiap lokasi dinding pembuluh
darah yang luka, dinding pembuluh yang rusak menimbulkan suatu siklus aktivasi
trombosit yang jumlahnya terus meningkat yang menyebabkan menarik lebih banyak
lagi trombosit tambahan, sehingga membentuk sumbat trombosit.
Sumbat ini pada mulanya longgar,
namun biasanya berhasil menghalangi hilangnya darah bila luka di pembuluh
ukurannya kecil. Setelah itu, selama proses pembekuan darah selanjutnya,
benang-benang fibrin terbentuk. Benang fibrin ini melekat pada trombosit,
sehingga terbentuklah sumbat yang kuat.
3.
Pembekuan Darah
Pembekuan terjadi melalui tiga
langkah utama:
1.
Sebagai respon terhadap rupturnya
pembuluh darah atau kerusakan darah itu sendiri, rangkaian reaksi kimiawi yang
kompleks terjadi dalam darah yang melibatkan lebih dari selusin faktor
pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah terbentuknya suatu kompleks substansi
teraktivasi yang secara kolektif disebut aktivator protrombin.
2.
Aktivator protrombin mengatalisis
pengubahan protrombin menjadi trombin
3.
Trombin bekerja sebagai enzim untuk
mengubah fibrinogen menjadi benang fibrin yang merangkai trombosit, sel darah,
dan plasma untuk pembekuan darah.
Gambar 1. Skema perubahan
protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen untuk membentuk benang
fibrin.
Mekanisme pembentukan aktivator
protrombin, dimulai bila terjadi trauma pada dinding pembuluh darah dan
jaringan yang berdekatan, trauma pada darah atau kontak darah dengan sel
endotel yang rusak atau dengan kolagen dan unsur lainnya di luar pembuluh darah. Aktivator protrombin biasanya dapat dibentuk
melalui dua cara jalur ekstrinsik dan intrinsik, walaupun pada kenyataannya
kedua cara ini saling berinteraksi secara konstan satu sama lain. Jalur
ekstrinsik dimulai dengan terjadinya trauma pada dinding pembuluh dan jaringan
sekitarnya dan jalur instrinsik berawal di dalam darah sendiri. Pada kedua
jalur ini, ekstrinsik atau instrinsik terdapat berbagai protein plasma yang
berbeda yang disebut faktor-faktor pembekuan darah. Sebagian besar faktor ini
masih dalam bentuk enzim proteolitik yang inaktif, menjadi aktif yang akan
menimbulkan proses pembekuan berupa reaksi-reaksi yang beruntun dan bertingkat.
Tabel 1. Faktor Koagulasi
Nomor faktor
|
Nama deskriptif
|
Bentuk aktif
|
I
|
Fibrinogen
|
Subunit fibrin
|
II
|
Protrombin
|
Serin protease
|
III
|
Faktor jaringan
|
Reseptor/kofaktor*
|
V
|
Faktor labil
|
Kofaktor
|
VII
|
Prokonvertin
|
Serin protease
|
VIII
|
Faktor antihemofilik
|
Kofaktor
|
IX
|
Faktor Christmas
|
Serin protease
|
X
|
Factor Stuart-Prower
|
Serin protease
|
XI
|
Plasma thromboplastin antecedent
|
Serin protease
|
XII
|
Faktor Hageman (kontak)
|
Serin protease
|
XIII
|
Fibrin stabilizing factor
Prakalikrein (faktor Fletcher)
HMWK (faktor Fitzgerald)
|
Transglutaminase
Serin protease
Kofaktor*
|
HMWK, high
molecular weight kininogen (kininogen berberat molekul tinggi)
*Aktif tanpa
modifikasi proteolitik
1)
Jalur Ekstrinsik
Mekanisme ekstrinsik sebagai awal
pembentukan aktivator protrombin dimulai dengan dinding pembuluh darah atau
jaringan ekstravaskuler yang rusak kontak dengan darah. Kejadian ini
menimbulkan langkah-langkah :
a.
Pelepasan faktor jaringan. Jaringan yang
luka melepaskan beberapa faktor yang disebut faktor jaringan atau tromboplastin
jaringan. Faktor ini terutama terdiri dari fosfolipid dari membran jaringan
ditambah kompleks lipoprotein yang berfungsi sebagai enzim proteolitik.
b.
Aktivasi Faktor X-peranan Faktor VII dan
faktor jaringan. Kompleks lipoprotein dari faktor jaringan selanjutnya
bergabung dengan Faktor VII dan bersamaan dengan hadirnya ion kalsium, faktor
ini bekerja sebagai enzim terhadap Faktor X untuk membentuk Faktor X yang
teraktivasi (Xa).
c.
Efek dari Faktor X yang teraktivasi (Xa)
dalam membentuk aktivator protrombin-peranan Faktor V.
Faktor
X yang teraktivasi segera berikatan dengan fosfolipid jaringan yang merupakan
bagian dari faktor jaringan, atau dengan fosfolipid tambahan yang dilepaskan
dari trombosit, juga dengan Faktor V untuk membentuk senyawa yang disebut
aktivator protrombin.
Gambar 2. Jalur ekstrinsik sebagai
awal pembekuan darah
2)
Jalur Intrinsik
Mekanisme kedua untuk awal
pembentukan aktivator protrombin, dengan demikian juga merupakan awal dari
proses pembekuan. Dimulai dengan terjadinya trauma terhadap darah itu sendiri
atau darah yang kontak dengan kolagen pada dinding pembuluh darah yang rusak.
Proses berlangsung melalui serangkaian reaksi kasakade:
a.
Pengaktifan Faktor XII dan pelepasan
fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena trauma.
b.
Pengaktifan Faktor XI, Faktor XII yang
teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap Faktor XI dan juga
mengaktifkannya. Ini merupakan langkah kedua dalam jalur intrinsik, reaksi ini
juga memerlukan kininogen HMW dan dipercepat oleh prekalikerin.
c.
Pengaktifan Faktor IX oleh faktor XI
yang teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap Faktor IX dan
mengaktifkannya.
d.
Pengaktifan Faktor X-peranan Faktor
VIII. Faktor IX yang teraktivasi, bekerja sama dengan Faktor VIII teraktivasi
dan dengan fosfolipid trombosit dan faktor 3 dari trombosit yang rusak
mengaktifkan Faktor X.
e.
Kerja Faktor X teraktivasi dalam
pembentukan aktivator protrombin-peranan Faktor V. langkah dalam jalur
intrinsik ini pada prinsipnya sama dengan langkah terakhir dalam jalur
ekstrinsik. Faktor X yang teraktivasi bergabung dengan Faktor V dan trombosit
atau fosfolipid jaringan untuk membentuk suatu kompleks yang disebut aktivator
protrombin.
Aktivator
protrombin dalam beberapa detik mengawali pemecahan protrombin menjadi trombin,
dan dengan demikian proses pembekuan selanjutnya dapat berlangsung.
Gambar 3. Jalur Intrinsik sebagai
awal pembekuan darah
2.
PENYAKIT –PENYAKIT YANG MENYEBABKAN GANGGUAN HEMOSTASIS
1.
Gangguan
vascular
a. Purpura
Henoch-Schonlein
DEFINISI
Merupakan penyakit autoimun (IgA mediated) berupa
hipersensitivitas vaskulitis paling sering ditemukan pada anak-anak.
ETIOLOGI
Sampai saat ini masih belum diketahui pasti; IgA diduga
berperan penting, ditandai dengan peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks
imun, dan deposit IgA pada dinding pembuluh darah dan mesangium ginjal
EPIDEMIOLOGI
Rata-rata 14 kasus/100.000 anak usia sekolah; prevalensi
tertinggi pada usia 2-11 tahun (75%); 27% kasus ditemukan pada dewasa,
b. Scurvy
DEFINISI
Gangguan nutrisi yang disebabkan defisiensi vitamin C yang
menyebabkan kegagalan sintesis kolagen dan pembentukan osteoid yang
mengakibatkan osteoporosis dan disertai perdarahan subperiostal dan submukous.
ETIOLOGI
Kurangnya vitamin C yang terkandung dalam intake makanan sehari-hari
dapat terjadi pada keadaan seperti :
a) Bayi
yang hanya mendapatkan susu buatan dan bukan ASI dalam 1 tahun pertama
b) Kebiasaan
mengkonsumsi makanan junkfood dan alkoholisme
c) Ketidakmampuan
ekonomi untuk menyediakan buah-buahan dan sayur-sayuran yang kaya akan vitamin
C
d) Perokok
berat karena kurangnya absorbsi vitamin C dan meningkatnya katabolisme
EPIDEMIOLOGI
Biasanya pasien yang lebih tua atau
menggunakan alcohol dan diet rendah buah dan sayur-sayuran. Bayi dan anak-anak
dengan diet yang rendah karena kesehatan, ekonomi atau alas an social yang
memiliki resiko terjadinya scurvy.
2.
Gangguan
kelainan jumlah trombosit
a. Purpura
trombositopenik imun (PTI)
DEFINISI
PTI
adalah suatu penyakit perdarahan yang didapat sebagai akibat dari penghancuran trombosit
yang berlebihan, yang ditandai dengan trombositopenia (trombosit
<100.00mm3), purpura, gambaran darah tepi yang umumnya normal dan tidak
ditemukan penyebab trombositopenia yang lainnya.
ETIOLOGI
Pada
pengamatan diketahui bahwa seorang ibu yang menderita PTI baik aktif maupun
sedang dalam masa remisi sering melahirkan anak yang kemudian menderita PTI.
Keadaan ini kemudian menimbulkan dugaan bahwa adanya suatu factor humoral dari
ibu yang masuk kedarah bayi. Diketahui pula pada beberapa pasien anemia
hemolitik autoimun yang sering mendapat episode dari PTI (sindrom evan)
menunjukan adanya factor autoimun sebagai penyebab
EPIDEMIOLOGI
PTI
diperkirakan merupakan kelainan perdarahan didapat yang banyak ditemukan oleh
dokter anak, dengan insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000
anak pertahun. Ddibagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. soetomo terdapat 22 pasien
baru pada tahun 2000. 80 – 90% anak dengan PTI menderita episeode perdarahan
akut yang akan pulih dalam beberapa hari atau minggu dan sesuai dengan namanya
(akut) akan sembuh dalam waktu 6 bulan. Pada PTI akut tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dan akan mencapai puncak pada usia 2-5 tahun.
Hamper selalu ada riwayatinfeksi bakteri, virus
ataupun imunisasi 1-6 minggu sebelum terjadinya penyakit ini. Perdarahan
sering terjadi saat trombosit dibawah 20.000/mm3 . PTI kronis terjadi pada anak
usia ,7 tahun, sering terjadi pada anak perempuan. PTI yang rekuren didefenisikan sebagai adanya episode
trombositopenia >3 bulan dan terjadi 1-4% anak dengan PTI.
b. Penyakit
von willebrend (PVW)
DEFINISI
PVW adalah kelainan
perdarahan herediter disebabkan oleh defisiensi factor von willebrand. Pvw ini
membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah dan antara sesamanya,
yang diperlukan untuk pembekuan darah yang normal. PVW adalah suatu glikoproteinmultimer
heterogen dalam plasma dengan dua fungsi utama.:
·
Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stress berat
dengan menghubungkan reseptor membran trombosit ke subendotel pembuluh darah.
·
Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu
protein koagulasi darah yang penting.Umumnya faktor von Willebrand membantu
trombosit melekat pada dinding pembuluh darah yang normal.
ETIOLOGI
Von Willebrand Factor (VWF) adalah
protein yang besar yang membantu platelet untuk saling melekat dan menempel
pada dinding pembuluh darah yang terluka. Hal ini membuat protein ini sangat
penting dalam pembentukan gumpalan. Faktor genetik menyebabkan kurangnya jumlah
VWF (tipe 1), abnormalitas dari struktur VWF (tipe 2) atau hampir tidak adanya
VWF (tipe 3). Tipe 1 adalah tipe paling umum dan memiliki gejala ringan. Tipe 3
jarang, tetapi penderita sangat parah.
EPIDEMIOLOGI
PVW ditemukan pada study pedigree sebuah
keluarga secara cermat di Kepulauan Aland. Penyakit ini merupakan penyakit
herediter yang umum. Diturunkan sebagai satu sifat dominan autosomal dengan
prevalensi sekitar 1/100 sampai 3/100.000. namun PVW berat dengan riwayat
perdarahan yang mengancam jiwa terjadi pada kurnag dari 5 orang per 1 juta
penduduk dinegara barat.
3.
Gangguan
koagulasi
1. Hemophilia
A dan B
DEFINISI
Hemophilia
adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang
diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X. Sampai saat
ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex—linked recessive yaitu :
- Hemofilia
A (hemofilia klasik), akibat defisiensi besi disfungis faktor pembekuan VIII (F VIIIc)
- Hemofilia
B (Christmas disease) akibat
defisiensi atau disfungsi FIX (faktor Christmas).
Sedangkan
hemophilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan factor XI yang
diturunkan secara autosomal recesive pada kromosom 4q32q35. Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak
memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga
terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen.
ETIOLOGI
Hemofilia
A dan hemophilia B disebabkan oleh kerusakan pada pasangan kromosom. Defek
genetic ini berpengaruh pada produksi dan fungsi dari fakrot pembekuan. Semakin
sedikit factor pembekuan tersebut maka semakin berat derajan hemophilia yang di
derita. Hemophilia A disebabkan oleh kelainan produksi dari factor VIII, sedangkan
hemophilia B disebabkan oleh kelainan produksi dari factor IX.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini
bermanifestasi klinis pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1 :
10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1 : 25.000 – 30.000 orang. Belum ada data mengenai
angka kejadian di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200
juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai
dibandingkan kasus hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80 – 85%dan 10 –
15% tanpa memandang ras, geografi, dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen
secara spontan diperkirakan mencapai 20 – 30% yang terjadi pada pasien tanpa
riwayat keluarga.
2. Disseminate
intravascular coagulation (DIC)
DEFINISI
DIC
merupakan Merupakan suatu keadaan dimana sistem koagulasi dan/ atau
fibrinolitik teraktivitasi secara sistemik, menyebabkan koagulasi intravaskular
luas dan melebihi mekanisme antikoagulan alamiah.
ETIOLOGI
Factor-faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya DIC adalah
a. Infeksi
mikroorganisme
b.
Keganasan
c.
Gigitan ular
d.
Luka bakar
EPIDEMIOLOGI
Insiden :
§ Sekitar
18.000 kasus yang muncul di US pada tahun 1994
§ Sekitar
1% dari semua pasien yang dirawat di RS
Frekuensi :
§ DIC
bisa muncul sekitar 30% sampai 50% pasien dengan sepsis yang parah
§ Kematian
total sekitar 50% sampai 70%. Angka bergantung pada penyakit penyebab, tetapi DIC menambah buruk
prognosa semua penyakit.
§ Dalam
hal trauma luas, DIC meningkatkan kematian sekitar 2 kali lipat.
Demografi :
§ Bisa
muncul pada semua usia
§ Perbandingan
sama antara pria dan wanita
§ Perbandingan
sama di semua ras
§ Tidak
diketahui apakah ada pengaruh genetik, sosioekonomi dan geografis.
3. Defisiensi
vitamin K
DEFINISI
Defisiensi vitamin k
merupakan berkurangnya vitamin K dalam
tubuh dimana vitamin ini larut dalam lemak yang secara alamiah banyak terdapat
dalam sayur dan buah-buahan dan dapat disintesis oleh flora bakteri dalam usus
dimana vitamin ini penting untuk sintesis prokoagulan factor II, VII, IX dan X
serta antikoagulan protein C dan S.
ETIOLOGI
Keadaan yang
berhubungan dengan defisiensi factor pembekuan yang bergantung pada vitamin K
adalah :
a. Prematuris
b. Asupan
makanan yang tidak adekuat
c. Adanya
obstruksi biliaris
d. Sindrom
malabsorbsi serta gangguan saluran cerna kronis
e. Kekurangan
vitamin K pada ibu
3. Gejala Klinis Gangguan
Hemostasis
1. Idiopathic Trombocytopenic Purpura
Gejala
Klinis:
Dapat
timbul mendadak, terutama pada anak, tetapi dapat pula hanya berupa kebiruan
atau
epitaksis selama jangka waktu yang berbeda-beda. Tidak jarang terjadi gejala
timbul
setelah suatu peradangan infeksi saluran napas bagian atas akut. Kelainan yang
paling
sering ditemukan ialah petekie dan kemudian ekimosis yang dapat tersebar
diseluruh
tubuh. Keadaan ini kadang-kadang dapat dijumpai pada selaput lendir
terutama
hidung dan mulut sehingga dapat terjadi epitaksis dan perdarahan gusi dan
bahkan
timbul tanpa kelainan kulit. Pada ITP akut dan berat dapat timbul pula selaput
lendir
yang berisi darah (bula hemoragik). Gejala lainnya ialah perdarahan traktus
genitourinarius
(menoragia, hematuria), traktus digestivus (hematemesis, melena),
pada
mata (konjungtiva, retina) dan terberat namun jarang terjadi ialah perdarahan
pada
sistem saraf pusat (perdarahan subdural dan lain-lain). Pada fisis umumnya
tidak
banyak
dijumpai kelainan kecuali adanya petekia dan ekimosis. Pada kira-kira
seperlima
kasus dapat dijumpai splenomegali ringan (teutama pada hiperplenisme).
Mungkin
pula ditemukan demam ringan bila ditemukan perdarahan berat atau
perdarahan
traktus gastrointestinal. Renjatan (shock) dapat terjadi bila kehilangan
darah
banyak. Pada ITP menahun, umumnya hanya ditemukan kebiruan atau
perdarahan
abnormal lain dengan remisi spontan dan eksaserbasi. Remisi yang terjadi
umumnya
tidaklah sempurna. Harus waspada terhadap kemungkinan ITP menahun
sebagai gejala
stadium preleukimia.
2. Penyakit Von Willebrand
Gejala
Klinis:
Adanya
perdarahan mukoktaneus, perdarahan sendi dan intramuscular, epistaksis, gusi
berdarah, menorrhagia, mudah memar.
3.
Disseminated
Intravascular Coagulation
Gejala
klinis:
Petechie,
echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, lebam pada kulit dan membrane mukosa,
perdarahan multiple.
4. Hemofilia
Gejala
klinis:
Manifestasi
klinis hemofilia A serupa dengan hemofilia B yaitu perdarahan yang sukar
berhenti. Secara klinis hemofilia dapat dibagi menjadi hemofilia ringan,
sedang, berat. Pada penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang
terjadi dan perdarahan terjadi setelah trauma berat atau operasi. Pada
hemofilia sedang, perdarahan spontan dapat terjadi atau dengan trauma ringan.
Sedangkan pada hemofilia berat perdarahan spontan sering terjadi dengan
perdarahan ke dalam sendi, otot dan organ dalam. Umumnya penderita hemofilia
berat, perdarahan sudah mulai terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Perdarahan
dapat terjadi di mukosa mulut, gusi, hidung, saluran kemih, sendi lutut,
pergelangan kaki dan siku tangan, mudah timbul lebam sejak usia dini.
4. DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING
GANGUAN HEMOSTASIS
5.1
Diagnosis
Gangguan Hemostasis
a. Anamnesa
pada gangguan hemostasis :
Pada anamnesis gangguan
hemostasis akan didapatkan keluhan-keluhan antara lain :
Keluhan utama : Perdarahan yang panjang atau berulang
Keluhan tambahan
1. Epistaksis
2. Hemoptisis
3. Melena
4. Hematemesis
5. Hematuria
6. Nyeri
pada sendi
Berdasarkan riwayat
keluarga
1. hemofilia
( menderita atau sebagai carier )
2. terdapat
riwayat perdarahan abnormal atau berat dalam keluarga
3. diabetes
melitus
Riwayat penggunaan obat
- obatan antikoagulan
b. Pemeriksaan
Fisik
Pada
pemeriksaan fisik harus menentukan sifat perdarahan dan mengidentifikasi
tanda-tanda penyakit primer sistemik.
1. Jika
dicurigai adanya defek pada hemostasis primer (interaksi trombosit dan pembuluh
darah) maka pada pemeriksaan fisik akan di jumpai:
a) Perdarahan
selaput lendir misalnya epistaksis, hematuria , menoragia
b) Petekie
dikulit dan selaput lendir
Petekie merupakan lesi
hemoragik keunguan, datar, bulat tidak memucat berdiameter 2-4 mm,yang dapat
bergabung menjadi lesi yang lebih besar yang disebut purpura. Lesi ini ditemukan pada membran mukosa dan kulit,
terutama didaerah yang bebas atau daerah yang mendapat tekanan
c) Lesi
ekimosis kecil-kecil yang multipel
Ekimosis merupakan
tanda hitam dan biru adalah daerah ekstravasasi darah yang luas dalam jaringan
subkutan dan kulit. Perdarahan baru berwarna biru-hitam dan berubah warna menjadi hijau-coklat dan
kuning pada penyembuhan.
2. Jika
dicurigai adanya defek pada hemostasis sekunder(sistem koagulasi) maka pada pemeriksaan
fisik akan dijumpai
a) Perdarahan
–dalam kedalam sendi dan otot
b) Lesi
ekimosis yang luas
c) hematoma
c. Pemeriksaan
Penunjang
Untuk menegakkan
diagnosis gangguan hemostasis maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang,
antara lain :
1. Tes
Penyaring
Terdiri atas :
a.
Tes
untuk menilai pembentukan hemostatic
plug :
1)
Hitung
Trombosit (platelet count)
2)
Apusan
Darah Tepi
3)
Bledding
Time
4)
Tes
Torniquet (Rumple-Leede)
b. Tes untuk menilai pembentukan thrombin terdiri atas
:
1) APTT menilai intrinsic pathway
2) PPT menilai extrinsic pathway
c. Tes untuk menilai reaksi thrombin-fibrinogen terdiri
atas :
1)
Thrombin
Time
2)
Stabilitas
bekuan dalam salin fisiologik dan 5 M urea
d.
Tes
Parakoagulasi
2. Tes
Khusus
Tes khusus lanjutan,
yaitu tes untuk mengetahui penyebab kelainan faal hemostasis tersebut. Tes ini
dikerjakan sesuai petunjuk tes penyaring :
1) Tes
faal trombosit
2) Tes
Ristocetin
3) Pengukuran
faktor spesifik (faktor pembekuan)
4) Pengukuran
alpha-2 antiplasmin
Tabel 1. Pemeriksaan pembekuan
Pemeriksaan
|
Tujuan
|
Nilai Normal
|
Keterangan
|
Masa perdarahan
|
Menilai fungsi
trombosit dan vaskular
|
2-9,5 menit
|
Mamanjang pada
trombositopenia, trombositopati, penyakit von-willebrand, ingesti aspirin,
terapi anti koagulan dan uremia
|
Hitung trombosit
|
Menilai konsentrasi
trombosit
|
150.000-400.000/mm3
|
Menurun pada ITP
dan keganasan sumsum tulang, obat-obatan khususnya agen kemoterapeutik, dapat
menyebabkan masa perdarahan memanjang. Meningkat pada permulaan ganggua
mieloproliferatif
|
Reaksi Pembekuan
|
Menilai kecukupan
trombosit untuk membentuk bekuan fibrin
|
Bekuan akan
beretraksi sampai menjadi setengah dari ukuran semula dalam 1 jam, menjadi
bekuan padat dalam 24 jam jika tidak diganggu
|
Retraksi bekuan
buruk pada trombositopenia dan polisitemia; lisis bekuan pada fibrinolisis
|
Waktu pembekuan
Lee-Menilai mekanisme 6-12 menit
White (koagulasi)
|
koagulasi-waktu
yang diperlukan
untuk membentuk
bekuan padat
|
Tes yang tidak
sensitive.
Memanjang
pada defisiensi
factor koagulasi, pada terapi antikoagulan yang berlebihan dan dengan
antibiotic tertentu. Menurun dengan terapi kortikosteroid
|
|
International
Normalized Ratio (INR)
|
Standarisasi waktu
protrombin
|
Pencegahan dan
pengobatan
thrombus vena
2,0-3,0
|
Digunakan sebagai
penuntun untuk terapi antikoagulan oral yang diresepkan
|
Waktu protromin
(PT)
|
Mengukur jalur
Pembekuan
ekstrinsik
|
11-16 detik
|
Memanjang pada
defisiensi factor VII, X dan fibrinogen, terapi dikumarol yang berlebihan,
penyakit hati berat dan def. vit. K
|
Waktu
Tromboplastin
parsial
teraktivasi (APTT)
|
Mengukur jalur
Pembekuan
intrinsic
dan bersama
|
26-42 detik
|
Mamanjang pada def.
factor VIII sampai XII dan
fibrinogen, pada
terapi antikoagulan didlm sirkulasi, pada
peny. Hati dan DIC
dan def. vit. K. memendek pada
keganasan
|
Waktu thrombin (TT)
atau
pembekuan
trombin
|
Mengukur
pembentukkan fibrin dari
fibrinogen
|
10-13 detik
|
Memanjang pada
kadar fibrinogen rendah, DIC, penyakit
hati, terapi
antikoagulan dan disproteinemia
|
Tes pembentukan
tromboplastin (TGT)
|
Mengukur kemampuan
pembentukan
tromboplastin
|
12 detik atau kurang
|
Memanjang pada
trombositopenia, dengan defisiensi factor VIII sampai XII dan antikoagulan di
dalam sirkulasi
|
Tes D-Dimer
|
Mengukur pemecahan
produk-produk
bekuan fibrin
plasma
|
<500
|
Meningkat pada DIC,
emboli paru, infark, terapi
trombolitik, pembedahan
dan trauma
|
Tes agregasi
trombosit
|
Tes fungsi
Trombosit
|
Trombosit mengalami
agregasi dalam waktu tertentu
jika terpajan ADP, kolagen dan
epinefrin
|
Agregasi berkurang
atau tidak ada pada trombastenia, ingesti aspirin, gang. Mieloproliferatif, peny.
Hati berat, disproteinemia, peny. Von-wille
brand
|
Untuk penderita dengan
riwayat perdarahan atau mempunyai riwayat yang mengesankan kearah kelainan
hemostasis harus dikerjakan hitung trombosit, waktu perdarahan , waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial yang diaktifkan
Tabel
2.Gambaran
Laboratorium pada Hemofilia A, B dan von-willebrand
Hemofilia
A
|
Hemofilia
B
|
Von-Willebrand
|
|
Pewarisan
|
X-linked
recessive
|
X-linked
recessive
|
Autosomal
Dominant
|
Lokasi perdarahan
Utama
|
Sendi,
otot, pascatrauma/operasi
|
Sendi,
otot, posttrauma/operasi
|
Mukosa,
kulit, post
trauma/
operasi
|
Jumlah trombosit
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Waktu perdarahan
|
Normal
|
Normal
|
Memanjang
|
PPT
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
aPTT
|
Memanjang
|
Memanjang
|
Memanjang/normal
|
F VIII C
|
Rendah
|
Normal
|
Rendah
|
F VIII AG
|
Normal
|
Normal
|
Rendah
|
F IX
|
Normal
|
Rendah
|
Normal
|
Tes ristostetin
|
Normal
|
Normal
|
Terganggu
|
Tabel 3.Gambaran laboratorium
perdarahan akibat Def. Vitamin K, Penyakit hati, dan DIC
Komponen
|
Def. Vitamin K
|
Penyakit Hati
|
DIC
|
Morfologi eritrosit
PTT
PT
Fibrin Split Product
Trombosit
Faktor koagulasi yang menurun
|
Normal
Memanjang
Memanjang
Normal
Normal
Faktor II,VII,IX,X
|
Sel target
Memanjang
Memanjang
Normal/ naik
Normal / turun
I,II,V,VII,IX,X
|
Sel target, sel burr. Fragmentosit,
sferosit
Memanjang
Memanjang
Naik
Menurun
I,II,V,VIII,XIII
|
5.1.1 Gangguan Homostasis
a) Purpura
thrombositopenik Idiopatik (ITP)
Pada
ITP dapat dijumpai kelainan laboratorium berupa :
1.
Darah
tepi : trombosit biasanya 10-100 x 109 /L.
2.
Sumsum
tulang : Jumlah megakariosit meningkat disertai inti banyak
(multinuclearity) disertai lobulasi
3.
Imunologi
: Adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit atau dalam serum. Yang
lebih spesifik adalah antibodi terhadap gpIIb/IIIa atau gpIb
Diagnosis ditegakkan jika dijumpai:
1)
Gambaran
klinik berupa perdarahan kulit atau mukosa
2)
Trombositopenia
3)
Sumsum
tulang : megakariosit normal atau meningkat
4)
Antibodi
antiplatelet IgG (+), tetapi bukan suatu keharusan
5)
Tidak
ada penyebab trombositopenia sekunder.
b)
Hemofili A dan B
Pemeriksaan
laboraturium untuk kasus hemofili adalah :
1.
Tes
penyaring
APTT memanjang,
sedangkan waktu perdarahn, PPT dan waktu trombin normal. APTT dapat tidak
memanjang (normal) pada kasus hemofili
ringan.
2.
Tes
konfirmatif terdiri atas :
a.
Pengukuran
kuantatif faktor VIII dan IX
b.
Jika
faktor VIII defisiensi makan dilanjutkan dengan pemeriksaan faktor non
Willebrand.
3. Pemeriksaan pada karier wanita juga menunjukkan
faktor VIIIC menurun (50%)
Kriteria
diagnosa :
a. Kecenderungan
terjadi perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu tindakan, atau timbulnya
kebiruan atau hematoma setelah trauma ringan atau terjadinya hemarthrosis
b. Riwayat
keluarga
c. Masa
pembekuan memanjang
d. Masa
protrombin normal, masa tromboplastin memanjang
e. Masa
pembekuan tromboplastin abnormal
c)
Penyakit Von Willebrand (VWD)
Pada
VWD kelainan laboraturium dapat dijumpai
dalam bentuk, seperti :
1.
Waktu
perdarahan memanjang
2.
APTT
sedikit meningkat
3.
Ristocetin
induced platelet aggregation test negatif, kecuali pada tipe Iib
4.
Elektroforesis
: VWD menurun pada tipe I atau nol pada tipe III
5.
Imunoelektroforesis
: multimer besar negatif, dengan multimer sedang meningkat pada tipe Iib
d) Dissaminated
Intravascular Coagulation
(DIC)
Pada
pemeriksaan laboratorium dasar leukositosis sering ditemukan. Granulopenia juga
dapat terjadi karena ketidakmampuan sumsum tulang untuk mengimbangi kerusakan
neutrophil yang cepat.
Kriteria
laboratorik untuk DIC adalah :
1.
Tes
grup I (bukti adanya aktivasi prokoagulasi)
a.
Peningkatan
fragmen prothrombin 1+2
b.
Peningkatan
fibrinopeptida A
c.
Peningkatan
fibrinopeptida B
d.
Peningkatan
komplek TAT (thrombin-antithrombin)
e.
Peningkatan
D-dimer
2.
Tes
grup II (bukti adanya aktivasi sistem fibrinolitik)
a.
Peningkatan
D-dimer
b.
Peningkatan
FDP
c.
Peningkatan
plasmin
d.
Peningktan
kompleks plasmin-antiplasmin
3.
Tes
grup III (bukti adanya konsumsi inhibitor)
a.
Penurunan
AT-III
b.
Penurunan
alpha-2-antiplasmin
c.
Penurunan
heparin kofaktor II
d.
Penurunan
protein C dan S
e.
Peningkatan
kompleks TAT
4.
Tes
grup IV (bukti adanya kerusakan atau gagal end-organ)
a.
Peningkatan
LDH
b.
Peningkatan
kreatinin serum
c.
Penurunan
pH
d.
Penurunan
pAO2
Untuk menegakkan diagnostik
laboraturium DIC hanya diperlukan satu dari masing-
masing grup I, II, III dan paling
sedikit dua dari grup IV. D-dimer yang paling reliabel
untuk pemeriksaan tes grup I dan II
jika diperiksa dengan cara yang benar.
e)
LLA (Leukemia Limfositik Akut)
1.
Pemeriksaan Darah Tepi
Gejala yang terlihat
pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan sumsum tulang yaitu berupa
pansitopenia, limfositosis, yang kadang kadang menyebabkan gambaran darah teoi
monoton dan terdapat sel blas.Terdapatnya sel blas dalam darah tepi merupakan
gejala potognomonik untuk leukemia.
2.
Sumsum Tulang
Dari pemeriksaan
susmsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu hanya terdiri dari
sel limfopoetik patologis. Pada LMA
selain gambaran yang monoton, terlihat pula adanya hiatus leukemikus yaitu
keadaan yang memperlihatkan banyak sel blas (mieloblas), beberapa sel tua
(segmen) dan sangat kurang bentuk pematangan sel yang berada diantaranya.
3.
Biopsi Limpa
Akan memperlihatkan proliferasi sel
leukemia dan sel leukemiadan sel yang berasal dari jaringan limpa akan terdesak
seperti limfosit normal, granulosit dan pulp
cell.
5.2 Diagnosa Banding Gangguan Hemostasis
Diagnosa banding
gangguan hemostasis adalah :
a)
Diagnosa Banding ITP
1.
Pseudothrombocytopenia
2.
DIC
3.
Viral Infections (especially HIV and EBV)
4.
Drug-induced thrombocytopenia (heparin,
sulfonamides, quinidine)
b)
Diagnosa Banding Hemofilia
1.
Sindrom mielodisplasia (MDS)
2.
Platelet dysfunction
3.
Leukimia kronis
c)
Diagnosa Banding Penyakit Von Willebrand (VWD)
1.
Bernard-Soulier Syndrome
2.
Hemophilia A and B
3.
Hemophilia C
4.
Platelet Disorders
d)
Diagnosa Banding Dissaminated Intravascular Coagulation
(DIC)
1.
Atypical
hemolytic-uremic syndrome
2.
Hemolytic-Uremic
Syndrome
3.
Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura
4.
Liver disease
5.
Primary
hemostatic disorders (eg, dysfibrinogenemias; inhibitors to factors II, V, X)
6.
Thrombotic
Thrombocytopenic Purpura
e)
Diagnosa Banding Leukemia Limfositik Akut (LLA)
1. Aplastic
Anemia
2. Fanconi
Anemia
3. Juvenile
Rheumatoid Arthritis
4. Leukocytosis
5. PENATALAKSANAAN
GANGGUAN HEMOSTASIS
1. ITP
(Imuno Thrombocytopenic Purpura)
Terapi suportif:
a.
Membatasi aktifitas fisik
b.
Mencegah perdarahan akibat trauma
c.
Menghindari obat yang dapat menekan produksi
trombosit
Terapi
farmakologi
1. Terapi
kortikosteroid
a. Untuk
menekan aktivitas mononuclear phagocyte (makrofag)sehingga mengurangi destruksi
trombosit
b. Mengurangi
pengikatan IgG oleh trombosit
c. Menekan
sintesis antibody
Meskipun
kortikosteroid tidak menurunkan jumlah kasus kronis, kortikosteroid bermanfaat
karena mengurangi keparahan dan menyingkirkan lama sakit pada fase awal. Pada
kasus yang lebih berat, terapi dengan kortikosteroid, seperti prednisone dengan
dosis 1-2 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi atau ekuivalensinya terindikasi.
Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan
leukemia sebelum memulai prednisone. Terapi ini diteruskan sampai hitung
trombosit normal atau selama 3 minggu.
2. Gamma
globulin
Seperti
kortikosteroid, IVIG juga menyebabkan blockade pada sistem retikuloendotelial
yang dapat meningkatkan jumlah trombosit dalam waktu cepat (umumnya 48 jam),
sehingga merupakan pengobatan pilihan untuk ITP dengan perdarahan yang serius.
Dosis besar gamma globulin IV 400 mg/kgBB selama 5 hari menginduksi remisi pada
banyak kasus ITP akut dan kadang – kadang pada ITP kronis.
3. Darah
segar atau konsentrat trombosit memberi manfaat sementara karena ketahanan
hidup trombosit yang ditransfusikan hanya pendek, tetapi transfuse harus diberikan
bila terjadi perdarahan yang mengancam kehidupan.
4. Splenektomi
dilakukan hanya untuk ITP kronis, yang didefinisikan sebagai trombositopenia
yang menetap selama lebih dari 1 tahun, dan untuk kasus berat yang tidak
menunjukkan respon terhadap kortikosteroid.
Pencegahan:
Karena
penyebab langsung ITP masih belum dapat dipastikan maka pencegahan terhadap ITP
pun masih belum jelas. Tetapi setidaknya ada cara atau gaya hidup yang bisa
dilakukan oleh penderita ITP agar dapat hidup sebagaimana orang normal lainnya.
Salah satunya menghindari
kegiatan-kegiatan
keras yang berisiko menyebabkan luka perdarahan. Supaya tidak memperburuk
kondisi pasien ITP saja.
2. DIC
Terapi
DIC bersifat sangat kompleks, terapi pada prinsipnya dapat berupa berikut:
a. Terapi
terhadap penyakit dasar merupakan tindakan yang paling penting. Infeksi, syok,
asidosis, dan hipoksia harus diterapi segera. Jika proses yang mendasari dapat
dikendalikan maka perdarahan akan menghilang dengan cepat, dan terjadi
perbaikan temuan laboratorium yang abnormal.
b. Terapi
suportif diberikan pada kondisi pendarahan yang aktif
a.
FFP jika PT memanjang. Dosis: 15 ml/kg
b.
Cryoprecipitate mempertahankan faktor fibrinogen>
100 mg/dL. Dosis: 1-1.5 bags/10 kg
c. Pemberian
heparin. Dosis sangat bervariasi, umumnya dipakai 1 mg/kgBB dan dilanjutkan
dengan infus intravena dengan dosis 1 mg/kgBB/4 jam. Pada pemberian heparin
harus diperhatikan benar tidak terdapat suatu tempat yang dapat mengakibatkan
perdarahan hebat, misalnya luka, oleh karena heparin akan menghalangi proses
hemostasis normal. Sampai saat ini pemberian heparin masih kontroversial karena
dapat menimbulkan/menambah perdarahan.
Indikasi:
-
Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
-
Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
-
Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi,
gagal ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas.
d. Recombinan
activate protein C digunakan untuk pasien sepsis. Dosis 24 mcg/kg/jam
Pencegahan:
Pencegahan
terhadap penyebab DIC.
3. Penyakit
Von Willebrand
Terapi
untuk vWD adalah:
a. Kriopresipitat
adalah terapi yang dipilih untuk perdarahan berat atau persiapan terapi. Dosis
yang dianjurkan adalah 4 kantong kriopresipitat/10 kg, yang dapat diulangi tiap
12 – 24 jam, tergantung pada episode perdarahan yang diterapi atau dicegah.
b. Penderita
dengan vWD tipe 1 ringan sampai sedang diberi desmopressin (DDAVP) yang dapat
melepaskan vWF dari cadangan dalam endotel. Pemberian desmopressin akan
menaikkan kadar FvW dan FVIII dalam plasma sebanyak 2 – 8 kali. Desmopressin
dapat dilakukan secara intravena dan intranasal. Pemberian IV dilakukan melalui
infus dengan dosis 0,3 mg/kgBB (maksimum 20 mg) dalam 10 – 50 ml saline selama
± 20 menit dan puncak respon dapat dilihat dalam waktu 30 menit. Sedangkan
pemberian intranasal (dosis lebih tinggi) akan tampak dalam waktu 90 menit.
Pencegahan:
Karena ini adalah penyakit turunan, penyakit von Willebrand tidak bisa
dicegah. Untuk
mencegah terjadi komplikasi, hindari penggunaan obat-obatan jenis aspirin,
ibuprofen, dan naproxen. Obat-obat ini dapat mengencerkan darah dan mencegah
darah membeku jika terjadi luka.
Penderita penyakit von Willebrand bisa beraktivitas dengan normal.
Tetap jaga berat badan ideal dan aktif secara fisik. Olahraga yang
direkomendasikan di antaranya berjalan, bersepeda, dan berenang. Olahraga jenis
ini dapat melatih kekuatan otot dan kelenturan sendi. Sementara itu, sebaiknya
hindari olahraga yang rawan benturan. Seperti sepakbola, gulat, atau hoki.
4. Hemophilia
Tata
laksana pasien hemofilia harus bersifat komprehensif dan multidisiplin, melibatkan
tenaga medis di bidang hematologi, bedah ortopedi, gigi, psikiatri,
rehabilitasi medik, serta unit transfusi darah. Terapi terdiri atas:
a. Pemberian
F.VIII untuk hemofili A dan F.IX untuk hemofili B selama hidup
b. Pencegahan
kecacatan dengan pendidikan kesehatan
c. Rehabilitasi
apabila terjadi kerusakan sendi
Tatalaksana
pada penderita hemophilia:
1. Bila terjadi
perdarahan akut pada sendi/otot, sebagai pertolongan pertama perlu dilakukan
RICE (rest, ice, compression, elevation).
2.
FFP (Fresh Frozen Plasma)
Diberikan
pada penderita yang mengalami perdarahan yang memerlukan tindakan segera dimana
diagnosis pasti belum diketahui dan faktor konsentrat belum tersedia. Setiap 1
cc plasma segar beku mengandung 0.6-0.7 unit FVIII. Pemberiannya harus disesuaikan
dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi
hemolitik. Dosis pemakaian adalah 10-15 ml/kgbb. Dengan interval 8-12 jam. Bila
diberikan melebihi 30 ml/kgbb dalam 24 jam dan lebih dari 2-3 hari dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi walaupun pada anak normal
3. Dalam waktu
kurang dari 2 jam pasien harus mendapat replacement therapy faktor
VIII/IX.
a. Hemophilia
A
Beri
transfusi kriopresipitat atau konsentrat faktor VIII dengan dosis 0,5 x BB(kg)
x % (target kadar plasma – kadar F VII/IX pasien). 1 kantong kriopresipitat
mengandung sekitar 80 U faktor VIII. Krioprecipitat mengandung F.VIII ,vWF,
fibrinogen, F.XIII.
Dapat
juga dipakai dosis rumatan empiris, yaitu untuk faktor VIII 20-25 U/kg setiap
12 jam.
b. Hemophilia
B
Diberikan
faktor IX 40-50 U/kg setiap 24 jam
Tabel
5.1 Kebutuhan faktor VIII di bawah ini dapat dipakai sebagai pegangan pada
perdarahan atau tindakan
Perdarahan/Tindakan
|
Kadar Faktor VIII (%
dari normal)
|
Hemartrosis
ringan
|
15
– 20 %
|
Hemartrosis
berat/operasi kecil
|
20
– 40 %
|
Operasi
besar
|
60
– 80 %
|
Perdarahan
intrakranial
|
100%
|
Lamanya
pemberian tergantung pada beratnya perdarahan atau jenis tindakan. Misalnya
untuk pencabutan gigi atau epistaksis, diberikan selama 2 – 5 hari, sedangkan
operasi lebih besar atau laserasi luas 7 – 14 hari.
4. Selain replacement
therapy, dapat diberikan terapi ajuvan untuk pasien hemofilia, yaitu :
a. Desmopresin
(1-deamino-8-D-arginine vasopressin atau DDAVP).
Dosis: 0,3
mg/kg (meningkatkan kadar F VIII 3-6x dari baseline).
Cara
pemberian: DDAVP dilarutkan dalam 50-100 ml normal saline, diberikan
melalui infus perlahan dalam 20-30 menit.
DDAVP juga
dapat diberikan intranasal, dengan menggunakan preparat DDAVP nasal spray.
Dosis DDAVP intranasal yaitu 300 mg, setara dengan dosis intravena 0,3 mg/kg.
DDAVP intranasal terutama sangat berguna untuk mengatasi perdarahan minor
pasien hemofilia ringan-sedang di rumah.
Efek samping
DDAVP: takikardi, flushing, tremor, dan nyeri perut (terutama pada pemberian
intravena yang terlalu cepat), retensi cairan dan hiponatremia.
b. Asam
traneksamat
Asam
Traneksamat mencegah degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan
kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor koagulasi.
Indikasi :
perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi.
Kontra indikasi
: perdarahan saluran kemih (risiko obstruksi saluran kemih akibat bekuan
darah).
Dosis : 25 mg/kgBB/kali, 3 x sehari,
oral/intravena. Dapat diberikan selama 5-10 hari.
Pencegahan:
1. Perawatan
sendi untuk mencegah terjadinya ankilosis
2. Perawatan
gigi
3. Pendidikan
kesehatan untuk menghindari trauma (seminimal mungkin), serta hindari pemberian
injeksi intramuskuler
4. Hindari
pemberian aspirin
5.
Defisiensi Vitamin K
Bayi
dan anak yang mengalami perdarahan akibat kekurangan vitamin K harus segera
mendapatkan vitamin K. Vitamin K tidak boleh diberikan secara IM karena di
tempat suntikan akan terbentuk hematoma, sebaiknya diberikan secara subkutan
karena absorbsinya cepat dan efeknya hanya sedikit lebih lambat dibandingkan
dengan pemberian secara sistemik.
Bila
diberikan secara subkutan, dosis yang diberikan 5-10 mg dengan dosis tunggal
biasanya memberikan perbaikan PT dalam waktu 12-24 jam.
Pemberian
secara intravena dapat juga diberikan, tetapi harus hati-hati karena dapat terjadi
reaksi anafilaksis dengan dosis 1 mg untuk 2-3 kali pemberian dengan interval
waktu 6-8 jam.
Apabila
terjadi perdarahan hebat, disamping pemberian vitamin K juga harus segera
diberikan FFP dengan dosis 10-15 mg/kgBB.
Pencegahan:
Pemberian
vitamin K profilaksis pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2
tahun dosis 1 mg IM dosis tunggal atau 2
mg selama 3 kali per oral.
6.Penatalaksanaaan
Skorbut
Pengobatannya : dengan memberikan
vitamin C 200mg/hari selama satu minggu, kemudian dikurangi perlahan-lahan
sampai satu bulan.
6.
Komplikasi dan prognosis
a. Komplikasi
1. ITP
a)
Perdarahan intrakranial
b)
Perdarahan GI
c)
Perdarahan SSP
2. Von
Willebrand
a) Perdarahan
GI
b) Nyeri
pada persendian
3. DIC
a)
Syok
b)
Koma
c)
Gagal ginjal
d)
Gagal napas
e)
Iskemia
f)
Edema pulmoner
g)
Stroke
4. Hemofilia
a) Artropati
hemofilia
b) Sinovitis
c) Perdarahan
intrakranial
5. Scurvy
disease
a)
Penyakit gusi
b) Sindrom
sjogren
b. Prognosis
1. ITP
50 – 60 % penderita berespons dengan
kortikosteroid. Penderita ITP dewasa dapat mengalami remisi spontan (2%),
menjadi kronis (tidak mengalami remisi komplit setelah kortikosteroid dan
splenektomi) sebanyak 43%. Kematian biasanya disebabkan perdarahan serebral
(3%), perdarahan berat lain (4%).
2. Von
willebrand
Tingkat kematian
VWD mendekati nol di negara-negara Barat karena
kemampuan untuk mendiagnosa penyakit
dan mengobatinya dengan aman dan
efektif.
3.
DIC
Prognosis untuk pasien DIC biasanya
buruk, 10-50% mengalami kematian bergantung pada luas thrombosisnya dan
komplikasinya, pasien dengan sepsis / infeksi mempunyai % kematian lebih tinggi
yang signifikan.
4.
Hemofilia
Bila penanganannya adekuat dalam medikasi dan
psikologis maka umumnya
prognosisnya tidak buruk,
tetapi bila tidak
ditangani dengan tepat dan adekuat dan pasien tidak menjaga diri, maka
prognosis akan buruk dan bisa menyebabkan kematian.
5.
Scurvy disease
Skorbut
yang tidak diobati ini selalu fatal. Namun, kematian
akibat skorbut langka di zaman modern. Karena semua yang diperlukan untuk pemulihan
penuh adalah dimulainya kembali
asupan vitamin C
yang normal, mudah untuk mengobati
jika diidentifikasi dengan benar.
Konsumsi suplemen makanan dan / atau buah jeruk adalah cara
yang digunakan untuk mencapai hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Volume
2.Jakarta: EGC
2.
Permono H B,
Sutaryo, dkk. 2012. Buku Ajar Hematologi -
Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
3.
Permono
HB, sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastutu E, Abdulsalam M. 2012. Buku ajar
hematologi dan onkologi anak. Jakarta. Badan penerbit IDAI.
4.
Guyton Arthur C, Hall
John E; alih bahasa, Irawati … (et al); editor edisi bahasa Indonesia, Rachman
Luqman Y … (et al). 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 11. Jakarta:
EGC. 480-86
5.
Hoffbrand A.V dan Moss
P.A.H; alih bahasa, U Brham, Setiawan Liana, Iriani Anggraini; editor bahasa
Indonesia, Sandra Ferdy. 20013. Kapita selekta hematologi, edisi 6. Jakarta:
EGC.
6.
Sudoyo
A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (Editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed V 2009; Jakarta;
InternaPublishing,
7.
I Made Bakta, Prof. Dr.
Hemostasis. Hematologi Klinik Ringkas. 2012: Jakarta.
8.
Sutaryo P.H. dkk. Buku Ajar Hematologi Onklologi anak. 2012.
Nadan Penerbit IDAI: Jakarta
9. Staf
Pengajar IKA FK UI. (2000). Ilmu Kesehatan
Anak. Jilid 1. Jakarta: Bagian
IKA FK UI.
10. Schwartz M.William, Pedoman Klinis Pediatri. Penerbit Buku
Kedokteran ECG. Jakarta, 2005.
11. UKK
Hemato-Onkologi IDAI. 2013.
Penanganan Perdarahan Akut pada Hemofilia. Diakses dari: http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/penanganan-perdarahan-akut-pada-hemofilia.html
12. Zaiden
R A. 2014. Hemophilia B Treatment
& Management. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/779434-treatment
13. Disseminated Intravascular Coagulation. 2010. Dalam jurnal Pediatric Care
Online. Amerika Academy of Pediatric. Diakses dari:
Harrah's Cherokee Casino Resort - Mapyro
BalasHapusGet directions, 세종특별자치 출장마사지 reviews 부산광역 출장안마 and information for Harrah's Cherokee Casino Resort in Cherokee, NC. 안산 출장샵 Map & Directions to Harrah's 태백 출장안마 Cherokee 화성 출장안마 Casino