PENDAHULUAN
Poliomielitis
adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada
sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak
dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi
kelumpuhan dan atrofi otot. Epidemic yang luas dan ganas biasanya disebabkan
oleh virus tipe 1.
Kasus polio di
Indonesia pada tahun 2005 melaporkan secara total terdapat 295 kasus polio tersebar di 10 provinsi dan 22 kabupaten/kota
di Indonesia.
Gejala
klinis pada penyakit Ploliomielitis dapat berupa: Asimtomatis (silent infection), Poliomyelitis
abortif, Poliomyelitis non-paralitik, dan Poliomyelitis paralitik
Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan
pada penyakit Poliomielitis ,akan dibahas lebih lengkap di bab selanjutnya.
PEMBAHASAN
1. DEFINISI, ETIOLOGI, DAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
POLIOMIELITIS
1.1 Definisi
Poliomielitis
dari bahasa yunani berarti sum sum abu-abu medulla spinalis dan itis dari
bahasa latin berarti peradangan
Poliomielitis adalah penyakit
menular akut yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior
masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak dan akibat
kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan
atrofi otot.
1.2.Epidemiologi
Paul (1955) menemukan bahwa 40-50
tahun yang lalu di Eropa Utara terdapat penderita poliomyelitis terbanyak pada
umur 0-4 tahun, kemudian berubah menjadi 5-9 tahun dan kini di Swedia pada umur
7-15 tahun, bahkan akhir-akhir ini pada usia 15-25 tahun.
Goar (1955) dalam uraiannya tentang
polimyelitis di negeri yang baru berkembang dengan sanitasi yang buruk
berkesimpulan bahwa di daerah-daerah tersebut pada epidemic poliomyelitis di
temukan 90% pada anak di bawah umur 5 tahun..
Dibagian ilmu kesehatan anak
FKUI-RSCM Jakarta antara tahun 1953-1957, diantara 21 penderita yang dirawat
2/3 diantaranya berumur 1-5 tahun.
Penyakit poliomyelitis jarang
terdapat pada umur di bawah 6 bulan, mungkin karena imunitas pasif yang di
dapat dari ibunya, tetapi poliomyelitis yang terjadi pada bayi baru lahir
pernah dilaporkan dalam kepustakaan.
Kasus polio di Indonesia pada tahun
2005 terjadi pertama kali di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat yang dengan cepat
menyebar ke provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah , dan
Lampung. Data terakhir melaporkan secara total terdapat 295 kasus polio tersebar di 10 provinsi dan 22 kabupaten/kota
di Indonesia.
1.3.Etiologi
Virus poliomyelitis tergolong dalam
enterovirus yang filtrabel. Dapat di isolasi 3 strain virus tersebut yaitu tipe
1 (Brunhilde), tipe 2 (lansing) dan tipe 3 (leon). Infeksi dapat terjadi oleh
satu atau lebih tipe tersebut, yang dapat dibuktikan dengan ditemukannya 3
macam zat inti dalam serum seorang penderita. Epidemic yang luas dan ganas
biasanya disebabkan oleh virus tipe 1, epidemic yang ringan oleh tipe 3
sedangkan tipe 2 kadang-kadang menyebabkan kasus yang sporadic. Virus ini dapat
hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam deep freeze. Dapat
tahan terhadap bahan-bahan kimia termasuk sulfonamide, antibiotika
(streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan gliserin. Virus dapat
dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan pemberian zat oksidator yang
kuat seperti peroksida atau kalium permanganat. Reservoir alamiah satu-satunya
ialah manusia, walaupun virus juga terdapat pada sampah atau pada lalat.
Masa
inkubasi biasanya antara 7-10 hari, kadang-kadang terdapat kasus dengan
inkubasi antara 3-35 hari.
2. PATOFISIOLOGI POLIOMIELITIS
Pada
Poliomielitis, lesi neuron terjadi pada :
1.
Medulla spinalis ( terutama sel kornu-anterior dan kornu intermedius dan
dorsalis serta ganglia radiks dorsalis );
2.
Medulla (nukleus vestibuler, nukeus saraf cranial, dan formasi retikularis,
yang berisi pusat-pusat vital);
3.
Serebellum ( hanya nukleus pada atap dan vermis );
4.
Otak tengah ( terutama substansia abu-abu tetapi juga substansia nigra dan
kadang-kadang nukleus merah);
5.
Talamus dan hipotalamus
6. Korteks serebri (korteks motoris)
Gambaran
patofisiologi ialah kerusakan motor neuron, pada awalnya memperhatikan partikel
halus yang menyebar dan butiran kasar yang disebut dengan badan-badan Nissl
(sel neuron mengalami kromatolisis dan pembengkakan sitoplasma). Pada keadaan
ini neuron masih dapat membaik. Pada stadium lanjut, badan-badan Nissl tidak
ada dan sitoplasma jadi homogen dan agak basofilik, inti sel mengerut,
kadang-kadang didapati infiltrasi eosinofilik
di dalam inti sel.
Pada
kerusakan lebih lanjut, bila terjadi kematian neuron, maka sejumlah fagosit
mengelilingi sel, inti sel hilang dan sitoplasma mengerus sehingga batas sel
tidak jelas dan akson terputus. Pada autopsi terlihat adanya serbukan limfosit,
tapi keadaan akut, fase pertama terlihat
infiltrasi sel PMN. Setelah fase akut berakhir , sel neuron yang mati diganti
oleh jaringan ikat, sehingga medula spinalis
yang terkena menjadi kecil. Terjadinya paralisis asimetris dan atrofi
otot sesuai dengan persarafan medula spinalis yang terkena.
Gambaran mikroskopis ini tidak patognomonis untuk poliomeitis, karena gambaran lesi ini sama dengan gambaran mikroskopis yang disebabkan oleh virus neurotropik yang lain
Gambaran mikroskopis ini tidak patognomonis untuk poliomeitis, karena gambaran lesi ini sama dengan gambaran mikroskopis yang disebabkan oleh virus neurotropik yang lain
3. GEJALA KLINIS POLIOMIELITIS
Gejala
klinis berdasarkan klasifikasi Poliomielitis dapat berupa :
1. Asimtomatis
(silent infection),
2. Poliomyelitis
abortif,
3. Poliomyelitis
non-paralitik
4. Poliomyelitis
paralitik
3.1. Silent
infection
Setelah masa inkubasi 7-10 hari,
karena daya tahan tubuh maka tidak terdapat gejala klinis sama sekali. Pada
suatu epidemic diperkirakan terdapat pada 90%-95% penduduk dan menyebabkan
imunitas terhadap virus tersebut.
3.2. Poliomyelitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada
daerah yang terserang epidemic. Terutama yang diketahui kontak dengan penderita
poliomyelitis yang jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu
epidemic. Timbul mendadak,berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejala berupa infeksi virus,seperti
:
Malaise,anoreksi, nausea, muntah, nyeri
kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri abdomen.
3.3. Poliomyelitis
non-paralitik
Gejala klinik sama dengan
poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,nausea dan muntah lebih berat.
Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari,kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara
untuk kemudian remisi demam atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot.
Khas untuk penyakit ini ialah adanya
: Adanya nyeri, kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hypertonia.
Mungkin ini disebabkan oleh lesi
pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
3.4. Poliomyelitis
paralitik
Gejala yang terdapat pada
poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot
skelet atau kranial. Timbul paralisis akut. Pada bayi ditemukan paralisis
vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinik dapat dibedakan
beberapa bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan saraf :
a) Bentuk spinal
Dengan gejala
kelemahan/paralisis/paresis otot leher,abdomen,tubuh diafragma, toraks dan
terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot besar,pada tungkai bawah otot kuadriseps
femoris, pada lengan otot deltoideus.
Sifat paralisis asimetris. Reflex
tendon mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.
b) Bentuk bulber
Gangguan motoric satu atau lebih
saraf otak dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernafasan dan
sirkulasi.
c) Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara
bentuk spinal dan bentuk spinal dan bentuk bulbar.
d) Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium,
kesadaran yang menurun, tremor dan kadang-kadang kejang.
4.
ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK, dan PEMERIKSAAN
PENUNJANG
4.1
Anamnesis
pada Penyakit Poliomielitis
Anamnesis
pada penderita penyakit Poliomielitis dapat diperoleh dari penderita sendiri
(autoanamnesis) pada anak yang sudah bisa bicara dan keluarga atau orang lain
(alloanamnesis) pada penderita yang belum bisa berbicara. Pada anamnesis penderita
poliomielitis akan didapatkan keluhan
antara lain :
a. Demam
Suhu
tubuh meningkat atau demam tinggi kurang lebih 2 minggu.
b. Sakit
Kepala
Mengalami
sakit kepala yang hebat, sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.
c. Muntah
Muntah
disertai rasa mual, setiap diberikan makan akan di muntahkan.
d. Peradangan
Tenggorokan
Mengalami
sakit tenggorokan, tidak bisa makan dan minum dengan baik, makanan yang
diberikan tidak dihabiskan.
e. Sulit
buang air besar
Mengalami
kesulitan dalam buang air besar, fesesnya cair.
f. Nyeri
Nyeri
di perut dan di bagian belakang serta nyeri di bagian tangan atau kaki.
g. Kelumpuhan
Anak
mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti tengkurap,
telentang, berguling, duduk, berdiri, atau berjalan.
h. Riwayat
Imunisasi Polio
Belum
mendapat imunisasi polio, tidak lengkap mendapatkan imunisasi polio.
4.2 Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Poliomielitis
Penegakan diagnosis
penyakit Poliomielitis pada anak dapat dilakukan pemeriksaan fisik sebagai
berikut :
4.2.1
Pada Bayi
a. Perhatikan
posisi tidur, bayi yang normal menunjukkan posisi tungkai menekuk pada lutut
dan pinggul. Bayi yang lumpuh akan menunjukkan tungkai lemas dan lutut
menyentuh tempat tidur.
b. Lakukan
rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan ujung pensil pada telapak
kaki bayi, bila kaki ditarik berarti tidak terjadi kelumpuhan.
c. Pegang
bayi pada ketiak dan ayunkan, bayi yang normal akan menunjukkan gerakan kaki
menekuk pada bayi yang lumpuh tungkai tergantung lemas.
4.2.2
Pada anak yang sudah
bisa berjalan
a. Mintalah
anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau tidak.
b. Mintalah
anak berjalan pada ujung jari atau tumit, anak yang mengalami kelumpuhan tidak
bisa melakukannya.
c. Mintalah
anak meloncat pada satu kaki, anak yang lumpuh tidak bisa melakukannya.
d. Mintalah
anak untuk berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun kembali, anak yang
mengalami kelumpuhan akan mencoba berdiri dengan berpegangan merambat pada
tungkainya.
e. Tungkai yang mengalami kelumpuhan
terlihat lebih kecil.
4.3
Pemeriksaan
Penunjang pada Penyakit Poliomielitis
Penyakit Poliomielitis
dapat juga di diagnosis dengan pemeriksaan penunjang yaitu :
4.3.1
Pemeriksaan
Laboratorium
a. Viral
Isolation
Polio
virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan yang di peroleh pada
tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada minggu ke
2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
b. Uji
Serologi
Uji
serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita, jika pada
darah ditemukan zat antibodi polio maka diagnosis orang tersebut terkena polio
benar. Pemeriksaan pada fase akut dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
antibodi immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan didapatkan hasil
yang positif.
c. Cerebrospinal
Fluid (CSF)
Cerebrospinal
Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan jumlah sel darah putih yaitu
10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan kadar
protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul,2004).
4.3.2 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan
ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut. Pada anak yang sedang
tumbuh, di dapati tulang yang pendek, osteoporosis dengan korteks yang tipis
dan rongga medulla yang relative lebar, selain itu terdapat penipisan epifise,
subluksasio dan dislokasi dari sendi.
5. PEMERIKSAAN
FISIOLOGIS dan PATOLOGIS
Pemeriksaan Reflek
Fisiologis dan Patologis
5.1
Pemeriksaan
Reflek Fisiologis
Reflek adalah jawaban atas rangsangan.
Reflek fisiologis adalah mucle strectch reflexes (reflek regang otot) sebagai
jawaban atas rangsangan tendon, periosteum, tulang, sendi, fasia, kulit, semua
impuls perseptif termasuk panca indera dimana respon tersebut muncul pada orang
normal. Pemeriksaan reflek fisiologis dilakukan pada kasus orang yang mudah
lelah, sulit berjalan, kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak,
gangguan atrofi otot anggota gerak , nyeri punggung atau pinggang dan gangguan
fungsi otonom.
Dasar
pemeriksaan reflek :
a. Pemeriksaan
menggunakan alat reflek hammer
b. Penderita
harus berada dalam posisi rileks dan santai, sehingga gerakan otot akan dapat
mucul secara optimal.
c. Rangsangan
harus diberikan secara cepat dan langsung, keras pukulan harus dalam batas
nilai ambang tidak perlu terlalu keras.
d. Karena
sifat reaksi tergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus dalam
keadaan sedikit kontraksi.
Jenis-jenis
pemeriksaan reflek fisiologis :
1. Pemeriksaan
Reflek pada Lengan
1.1 Pemeriksaan
Reflek Biseps
a. Pasien
duduk dengan santai, lengan dalam keadaan lemas, siku dalam posisi sedikit
fleksi dan pronasi.
b. Letakkan
ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, lalu pukul ibu jari tadi dengan
menggunakan reflek hammer.
c. Reaksinya
adalah fleksi lengan bawah
Gambar
1. Pemeriksaan reflek Biseps
1.2 Pemeriksaan Reflek Triseps
a. Posisi pasien sama dengan
pemeriksaan reflek bisep
b. Apabila lengan pasien sudah
benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep tidak teraba tegang) pukullah tendon yang lewat
di fossa olekranon.
c. Maka trisep akan berkontraksi dengan
sedikit menyentak.
Gambar
2. Pemeriksaan reflek Triseps
2. Pemeriksaan Reflek pada Tungkai
2.1 Pemeriksaan Reflek Patella
a. Pasien dalam posisi duduk dengan
tungkai menjuntai
b. Daerah kanan-kiri tendon patella
terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan daerah yang tepat.
c. Tangan pemeriksa yang satu memegang
paha bagian distal, dan tangan yang lain memukul tendon patella tadi dengan
reflek hammer secara tepat.
d. Tangan yang memegang paha tadi akan
merasakan kontraksi otot kuadriseps, dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah
yang bergerak secara menyentak untuk kemudian berayun sejenak, apabila pasien
tidak mampu duduk, maka pemeriksaan reflek patella dapat dilakukan dalam posisi
berbaring.
Gambar 3. Pemeriksaan reflek
patellar
2.2 Pemeriksaan Reflek Achiles
a. Pasien dapat duduk dengan posisi
menjuntai, atau berbaring atau dapat pula penderita berlutut dimana sebagian
tungkai bawah dan kakinya menjulur di luar kursi pemeriksaan.
b. Pada dasarnya pemeriksa sedikit
meregangkan tendon achilles dengan cara menahan ujung kaki ke arah dorso
fleksi.
c. Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.
d. Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak.
Gambar 4. Pemeriksaan reflek
Achilles
Interpretasi pemeriksaan reflek fisiologis, normal (++)
meningkat (+++)
5.2 Pemeriksaan Reflek Patologis
Pemeriksaan reflek patologis
merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal. Reflek
patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan,lebih mudah muncul, lebih
reliable dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada
ektremitas atas.
Dasar pemeriksaan reflek :
a. Selain dengan jari-jari tangan untuk
pemeriksaan reflek ekstremitas atas, bisa juga dengan menggunakan reflek
hammer.
b. Pasien harus dalam posisi enak dan
santai.
c. Rangsangan harus diberikan dengan
cepat dan langsung.
Jenis-jenis pemeriksaan reflek
patologis :
1. Reflek Hoffman Trommer
Cara pemeriksaan, tangan penderita dipegang pada
pergelangannya dan pasien melakukan fleksi ringan pada jari-jarinya, kemudian
jari tengah pasien diregangkan dan dijepit diantara jari telunjuk dan jari
tengah pemeriksa. Kemudian lakukan:
a. Hoffman “ Goresan” , pada ujung jari tengah
pasien lakukan reaksi fleksi dan adduksi ibu jari disertai dengan fleksi
telunjuk dan jari-jari lainnya.
b. Tromner “ Colekan”, pada ujung jari pasien maka akan muncul
reaksi yang sama dengan Hoffman.
Gambar 5. Pemeriksaan reflek Hoffman
Trommer
2. Reflek Babinski Sign
Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung
palu reflek. Reaksi yang terjadi pada penderita dorsofleksi ibu jari kaki
disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya.
Reflek Babinski, di antaranya :
a. Cara Chaddock
Pemeriksa menggores dibawah dan sekitar maleolus eksterna ke
arah lateral dengan palu reflek ujung tumpul.
b. Cara Gordon
Pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat.
c. Cara Schaefer
Pemeriksa menekan tendon Achilles dengan kuat.
d. Cara Oppenheim
Pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan
telunjuk pada permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal.
Interpretasi pada pemeriksaan
patologis normal (-)
Gambar 6. Pemeriksaan reflek
Babinski Gambar 7. Pemeriksaan
reflek Chaddock
Gambar 8. Pemeriksaan reflek Gordon Gambar 9. Pemeriksaan reflek
Schaefer
Gambar
10. Pemeriksaan reflek Oppenheim
6. DIAGNOSIS BANDING POLIOMIELITIS
Diagnosis banding
poliomyelitis adalah:
1.
Sindroma guillain-barré
(neuritis infeksiosa)
Adalah penyakit saraf
yang disebabkan system imun tubuh yang menyerang sel saraf.
Gejala klinis neuritis
infeksuosa:
a. Kelumpuhan
pada anggota gerak, biasanya simetris
b. Adanya
penurunan kerja otot pernafasan dan pencernaan.
c. Tidak
ada demam saat onset
d. Arefleksia/tidak
ada reflek
e. Progresifitas
dalam beberapa hari sampai 4 minggu
2.
Neuritis traumatika
Adalah peradangan saraf
yang disebabkan oleh adanya trauma seperti injeksi dan saraf yang tertekan
karena trauma.
Gejala klinis neuritis
traumatika:
a. Bersifat
simetris
b. Arefleksia/tidak
ada reflek
c. Disertai
demam
3.
Mielitis transversa
Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang
mengenai suatu area pada medulla spinalis. (Krishnan dan Kerr D, 2004).
Gejala klinis:
a.
Bersifat akut
b.
Disertai demam
c.
Simetris
d.
Mati rasa
4.
Botulisme
Adalah suatu penyakit
saraf yang disebabkan bakteri clostridium botulinum yang biasanya terdapat pada
makanan kaleng.
Gejala klinis:
a. Progresifitas
24 jam setelah toksin masuk
b. Disertai
mual dan muntah
c. Reflek
pupil berkurang
d. Penglihatan
ganda
e. Terjadi
pelemahan otot tungkai dan pernafasan
f.
Sensibilitas menurun
5.
Pseudo paralisis non
neurogen
Adalah penyakit dengan
gejala tidak ada kaku kuduk,tidak pleiositosis.
Disebabkan oleh trauma
/ kontusio,demam rematik akut,osteomielitis.
6.
Polineuritis
Gejala paraplegia
dengan gangguan sensibilitas,dapat dengan paralisis palatum mole dan gangguan
otot bola mata.
7. PENATALAKSANAAN DAN
PENCEGAHAN POLIOMIELITIS
7.1 PENATALAKSANAAN POLIOMIELITIS
Tidak
ada pengobatan yang spesifik , penanganaan dilakukan secara simtomatis dan
suportif.pengobatan yang di lakukan secara umum dalam mencegah penyakit
tersebut yaitu:
a. Istrahat
b. Antipiretik (dosisnya 15-20 mg)
c. Analgesik (dosisnya 15-20 mg)
d. Diberikan secara oral
1.
poliomielitis
abortif
Pengobatannya:
a)
Cukup
di berikan analgetika dan sedatifa
b)
Diet
adekuat
c)
Istrahat
sampai suhu tubuh normal
2.
poliomielitis
non paralitik
Pengobatannya:
a)
Sama
seperti pada tipe abortif
b)
Selain
di beri analgetik dan sedatif dapat di kombinasi dengan kompres hangat selama
15-30 menit, setiap 2-4 jam
3.
poliomielitis
parilitik
Pengobatannya:
a) Membutuhkan perawatan di rumah sakit
b) Istrahat total minimal 7 hari atau
sedikitnya sampai fase akut di lampaui
c) Selama fase akut kebersihan mulut di
jaga
d) Fisioterapi di lakukan sedini mungkin
sesudah fase akut mulai dengan latihan pasif dengan maksud untuk mencegah
terjadinya deformitas
4.
poliomielitis
bulbar
Pengobatannya:
a)
Memerlukan
inkubasi endotrakea
b)
Menjaga
saluran nafas
c)
Menghindari
aspirasi sekret yang tidak dapat di telan.
7.2 PENCEGAHAN POLIOMIELITIS
Untuk mencegah terjadinya penyakit poliomielitis dapat di
lakukan beberapa cara yaitu:
1.
Memberikan
imunisasi
Menurut
rekomendasi WHO imunisasi dapat di berikan:
a.
Imunisasi
polio dapat di berikan 4 kali sejak lahir dengan interval waktu 6-8 minggu
b.
Pemberian
imunisasi mulai dari umur:
c.
Umur 0-1 bulan
d.
Umur
2-4 bulan
e.
Umur 6 bulan
f.
Umur 18 bulan
2.
Melakukan
survailence accute flaccid paralysis atau usaha penemuan penderita yang di
curigai lumpuh layu pada usia di bawah 15 tahun, kemudian dilakukan pemeriksaan
pada tinjanya untuk mengetahui adanya polio atau tidak
3.
Melakukan
mopping-up, yakni pemberian vaksin massal di daerah yang ditemukan penderita
polio terhadap anak usia dibawah 5 tahun tanpa melihat status imunisasi polio
sebelumnya
4.
Mengurangi
aktivitas yang berlebihan
5.
Memberikan
vaksin terhadap penderita dapat di bagi dalam dua bentuk yaitu:
a.
Imunisasipolio
dapat dilakukan sejak lahir
b.
Vaksinasi
polio hidup yang di berikan melalui mulut (OPV)
c.
Vaksinasi
polio mati yang di berikan dengan suntikan (IPV)
d.
Vaksin
polio hidup di berikan melalui mulut dengan dosis 2 tetes (0,1 ml)
e.
Vaksinasi
polio mati yang di berikan dengan suntikan dengan dosis (0,5 ml) subkutan dalam
tiga kali pemberian berturut-turut dalam jarak dua bulan masing-masing dosis
f.
Perlindungan
mukosa (selaput usus) yang di timbulkan IPV lebih rendah dari OPV.
8. KOMPLIKASI
dan PROGNOSIS POLIOMIELITIS
8.1
Komplikasi
Poliomielitis
Komplikasi
yang dapat terjadi pada penderita poliomielitis antara lain :
a. Melena
cukup berat sehingga memerlukan transfusi, yang mungkin diakibatkan erosi usus
superfisial.
b. Dilatasi
lambung akut dapat terjadi mendadak selama stadium akut atau konvalesen (dalam
keadaan pemulihan kesehatan/ stadium menuju kesembuhan setelah serangan
penyakit/ masa penyembuhan), menyebabkan gangguan respirasi lebih lanjut.
c. Hipertensi
ringan yang lamanya beberapa hari atau beberapa minggu , biasanya pada stdium
akut, mungkin akibat lesi pusat vasoregulator dalam medula.
d. Ulkus
dekubitus dan emboli paru, dapat terjadi akibat berbaring yang lama di tempat
tidur, sehingga terjadi pembususkan pada daerah yang tidak ada pergerakan
(atrofi otot) sehingga terjadi kematian sel dan jaringan)
e. Hiperkalsuria,
yaitu terjadinya dekalsifikasi ( kehilangan zat kapur dari tulang/ gigi) akibat
penderita tidak dapat bergerak.
f.
Kontraktur sendi,yang sering terkena
kontraktur antara lain sendi paha, lutut, dan pergelangan kaki.
g.
Pemendekan anggota gerak
bawah,biasanya akan tampak salah satu tungkai lebih pendek dibandingkan tungkai
yang lainnya, disebabkan karena tungkai yang pendek mengalami antropi otot.
h.
Skoliosis,tulang belakang melengkung
ke salah satu sisi, disebabkan kelumpuhan sebagian otot punggung dan juga
kebiasaan duduk atau berdiri yang salah.
i.
Kelainan telapak kaki, dapat berupa
kaki membengkok ke luar atau ke dalam.
8.2
Prognosis
Poliomielitis
Prognosis bergantung pada jenis polio (
sub-klinis, non paralitik atau paralitik) dan bagian tubuh yang terkena. Jika
tidak menyerang otak dan korda spinalis, kemungkinan akan terjadi pemulihan
total. Jika menyerang otak atau korda spinalis, merupakan suatu keadaan gawat
darurat yang mungkin akan menyebabkan kelumpuhan atau kematian (biasanya akibat
gangguan pernafasan).
Pada bentuk paralitik bergantung pada
bagian mana yang terkena. Bentuk spinal dengan paralisis pernafasan dapat
ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tipe bulber prognosisnya buruk,
kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat pernafasan atau infeksi
sekunder pada jalan nafas. Otot – otot yang lumpuh dan tidak pulih kembali
menunjukkan paralisis tipe flasid dengan atonia (tidak ada kontraksi otot),
arefleksi(tidak adanya refleks), dan degenerasi(kemunduran fungsi sel).
Komplikasi residural paralisis tersebut
ialah kontraktur terutama sendi, subluksasi bila otot yang terkena sekitar
sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah
terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Widoyono. 2008. Penyakit
Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta
: Penerbit Erlangga
2.
Abdoerahman, dkk 1985.
Ilmu Kesehatan Anak jilid 2, Jakarta FKUI. Hal 632-634
3. Behrman,
Kliegman, Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: EGC
4. Editor
: Hassan Rusepno dan Alatas Husein. Ilmu
Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1991.
5. Lumbantobing
S M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik
dan Mental. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2012.
6. Behrman,
dkk. 1996. Nelson ilmu kesehatan anak Ed
15. Jakarta. Penerbit buku kedokteran (EGC)
8. Buku
ajar pediatric Rudolph/Ann Alpers, Abraham M. Rudolph-Ed.20-jakarta:EGC, 2006
9. Behrman,
R. “ Ilmu Kesehatan Anak Nelson”. Vol
2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1999
10. Hassan,
R. “Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak” .
Jakarta : Infomedika. 1985
12. http://www, Repository
usu penatalaksanaan dan pencegahan.pdf
Ngawur
BalasHapus