WELCOME TO MEDICAL WORLD

Minggu, 19 Mei 2013

Poliomyelitis


PENDAHULUAN

Poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot. Epidemic yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1.
Kasus polio di Indonesia pada tahun 2005 melaporkan secara total terdapat 295 kasus polio  tersebar di 10 provinsi dan 22 kabupaten/kota di Indonesia.
Gejala klinis pada penyakit Ploliomielitis dapat berupa:  Asimtomatis (silent infection),  Poliomyelitis abortif, Poliomyelitis non-paralitik, dan Poliomyelitis paralitik
Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada penyakit Poliomielitis ,akan dibahas lebih lengkap di bab selanjutnya.




PEMBAHASAN

1. DEFINISI, ETIOLOGI, DAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT POLIOMIELITIS
1.1 Definisi
Poliomielitis dari bahasa yunani berarti sum sum abu-abu medulla spinalis dan itis dari bahasa latin berarti peradangan
            Poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot.

1.2.Epidemiologi
            Paul (1955) menemukan bahwa 40-50 tahun yang lalu di Eropa Utara terdapat penderita poliomyelitis terbanyak pada umur 0-4 tahun, kemudian berubah menjadi 5-9 tahun dan kini di Swedia pada umur 7-15 tahun, bahkan akhir-akhir ini pada usia 15-25 tahun.
            Goar (1955) dalam uraiannya tentang polimyelitis di negeri yang baru berkembang dengan sanitasi yang buruk berkesimpulan bahwa di daerah-daerah tersebut pada epidemic poliomyelitis di temukan 90% pada anak di bawah umur 5 tahun..
            Dibagian ilmu kesehatan anak FKUI-RSCM Jakarta antara tahun 1953-1957, diantara 21 penderita yang dirawat 2/3 diantaranya berumur 1-5 tahun.
            Penyakit poliomyelitis jarang terdapat pada umur di bawah 6 bulan, mungkin karena imunitas pasif yang di dapat dari ibunya, tetapi poliomyelitis yang terjadi pada bayi baru lahir pernah dilaporkan dalam kepustakaan.
            Kasus polio di Indonesia pada tahun 2005 terjadi pertama kali di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat yang dengan cepat menyebar ke provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah , dan Lampung. Data terakhir melaporkan secara total terdapat 295 kasus polio  tersebar di 10 provinsi dan 22 kabupaten/kota di Indonesia.

1.3.Etiologi
            Virus poliomyelitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel. Dapat di isolasi 3 strain virus tersebut yaitu tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (lansing) dan tipe 3 (leon). Infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih tipe tersebut, yang dapat dibuktikan dengan ditemukannya 3 macam zat inti dalam serum seorang penderita. Epidemic yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1, epidemic yang ringan oleh tipe 3 sedangkan tipe 2 kadang-kadang menyebabkan kasus yang sporadic. Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap bahan-bahan kimia termasuk sulfonamide, antibiotika (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida atau kalium permanganat. Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat pada sampah atau pada lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, kadang-kadang terdapat kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.


2. PATOFISIOLOGI POLIOMIELITIS
Pada Poliomielitis, lesi neuron terjadi pada :
1. Medulla spinalis ( terutama sel kornu-anterior dan kornu intermedius dan dorsalis serta ganglia radiks dorsalis );
2. Medulla (nukleus vestibuler, nukeus saraf cranial, dan formasi retikularis, yang berisi pusat-pusat vital);
3. Serebellum ( hanya nukleus pada atap dan vermis );
4. Otak tengah ( terutama substansia abu-abu tetapi juga substansia nigra dan kadang-kadang nukleus merah);
5. Talamus dan hipotalamus
6. Korteks serebri (korteks motoris)
Gambaran patofisiologi ialah kerusakan motor neuron, pada awalnya memperhatikan partikel halus yang menyebar dan butiran kasar yang disebut dengan badan-badan Nissl (sel neuron mengalami kromatolisis dan pembengkakan sitoplasma). Pada keadaan ini neuron masih dapat membaik. Pada stadium lanjut, badan-badan Nissl tidak ada dan sitoplasma jadi homogen dan agak basofilik, inti sel mengerut, kadang-kadang didapati infiltrasi eosinofilik
di dalam inti sel.
Pada kerusakan lebih lanjut, bila terjadi kematian neuron, maka sejumlah fagosit mengelilingi sel, inti sel hilang dan sitoplasma mengerus sehingga batas sel tidak jelas dan akson terputus. Pada autopsi terlihat adanya serbukan limfosit, tapi  keadaan akut, fase pertama terlihat infiltrasi sel PMN. Setelah fase akut berakhir , sel neuron yang mati diganti oleh jaringan ikat, sehingga medula spinalis  yang terkena menjadi kecil. Terjadinya paralisis asimetris dan atrofi otot sesuai dengan persarafan medula spinalis yang terkena.
Gambaran  mikroskopis ini tidak patognomonis untuk poliomeitis, karena gambaran lesi ini sama dengan gambaran mikroskopis yang disebabkan oleh virus neurotropik yang lain



3. GEJALA KLINIS POLIOMIELITIS

Gejala klinis berdasarkan klasifikasi Poliomielitis dapat berupa :
1. Asimtomatis (silent infection),
2. Poliomyelitis abortif,
3. Poliomyelitis non-paralitik
4. Poliomyelitis paralitik

3.1.    Silent infection
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan terdapat pada 90%-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut.

3.2.       Poliomyelitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic. Terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemic. Timbul mendadak,berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejala berupa infeksi virus,seperti :
Malaise,anoreksi, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri abdomen.

3.3.    Poliomyelitis non-paralitik
Gejala klinik sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari,kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot.
Khas untuk penyakit ini ialah adanya : Adanya nyeri, kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hypertonia.
Mungkin ini disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.

3.4.    Poliomyelitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau kranial. Timbul paralisis akut. Pada bayi ditemukan paralisis vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinik dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan saraf :
a)    Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralisis/paresis otot leher,abdomen,tubuh diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot besar,pada tungkai bawah otot kuadriseps femoris, pada lengan otot deltoideus.
Sifat paralisis asimetris. Reflex tendon mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.
b)   Bentuk bulber
Gangguan motoric satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi.
c)    Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk spinal dan bentuk bulbar.
d)   Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan kadang-kadang kejang.




4.  ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK, dan PEMERIKSAAN PENUNJANG
4.1    Anamnesis pada Penyakit Poliomielitis
Anamnesis pada penderita penyakit Poliomielitis dapat diperoleh dari penderita sendiri (autoanamnesis) pada anak yang sudah bisa bicara dan keluarga atau orang lain (alloanamnesis) pada penderita yang belum bisa berbicara. Pada anamnesis penderita poliomielitis akan didapatkan  keluhan antara lain :
a.     Demam
Suhu tubuh meningkat atau demam tinggi kurang lebih 2 minggu.
b.    Sakit Kepala
Mengalami sakit kepala yang hebat, sampai mengganggu aktivitas sehari-hari.
c.     Muntah
Muntah disertai rasa mual, setiap diberikan makan akan di muntahkan.
d.    Peradangan Tenggorokan
Mengalami sakit tenggorokan, tidak bisa makan dan minum dengan baik, makanan yang diberikan tidak dihabiskan.
e.     Sulit buang air besar
Mengalami kesulitan dalam buang air besar, fesesnya cair.
f.      Nyeri
Nyeri di perut dan di bagian belakang serta nyeri di bagian tangan atau kaki.
g.     Kelumpuhan
Anak mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti tengkurap, telentang, berguling, duduk, berdiri, atau berjalan.
h.     Riwayat Imunisasi Polio
Belum mendapat imunisasi polio, tidak lengkap mendapatkan imunisasi polio.
4.2  Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Poliomielitis
Penegakan diagnosis penyakit Poliomielitis pada anak dapat dilakukan pemeriksaan fisik sebagai berikut :
4.2.1             Pada Bayi
a.       Perhatikan posisi tidur, bayi yang normal menunjukkan posisi tungkai menekuk pada lutut dan pinggul. Bayi yang lumpuh akan menunjukkan tungkai lemas dan lutut menyentuh tempat tidur.
b.      Lakukan rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan ujung pensil pada telapak kaki bayi, bila kaki ditarik berarti tidak terjadi kelumpuhan.
c.       Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan, bayi yang normal akan menunjukkan gerakan kaki menekuk pada bayi yang lumpuh tungkai tergantung lemas.
4.2.2             Pada anak yang sudah bisa berjalan
a.       Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau tidak.
b.      Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit, anak yang mengalami kelumpuhan tidak bisa melakukannya.
c.       Mintalah anak meloncat pada satu kaki, anak yang lumpuh tidak bisa melakukannya.
d.      Mintalah anak untuk berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun kembali, anak yang mengalami kelumpuhan akan mencoba berdiri dengan berpegangan merambat pada tungkainya. 
e.       Tungkai yang mengalami kelumpuhan terlihat lebih kecil.

4.3    Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Poliomielitis
Penyakit Poliomielitis dapat juga di diagnosis dengan pemeriksaan penunjang yaitu :
4.3.1        Pemeriksaan Laboratorium
a.       Viral Isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan yang di peroleh pada tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada minggu ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
b.      Uji Serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita, jika pada darah ditemukan zat antibodi polio maka diagnosis orang tersebut terkena polio benar. Pemeriksaan pada fase akut dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan antibodi immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan didapatkan hasil yang positif.


c.    Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan kadar protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul,2004).
4.3.2    Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut. Pada anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang yang pendek, osteoporosis dengan korteks yang tipis dan rongga medulla yang relative lebar, selain itu terdapat penipisan epifise, subluksasio dan dislokasi dari sendi.


5. PEMERIKSAAN FISIOLOGIS dan PATOLOGIS
Pemeriksaan Reflek Fisiologis dan Patologis
5.1  Pemeriksaan Reflek Fisiologis
Reflek adalah jawaban atas rangsangan. Reflek fisiologis adalah mucle strectch reflexes (reflek regang otot) sebagai jawaban atas rangsangan tendon, periosteum, tulang, sendi, fasia, kulit, semua impuls perseptif termasuk panca indera dimana respon tersebut muncul pada orang normal. Pemeriksaan reflek fisiologis dilakukan pada kasus orang yang mudah lelah, sulit berjalan, kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan atrofi otot anggota gerak , nyeri punggung atau pinggang dan gangguan fungsi otonom.
Dasar pemeriksaan reflek :
a.    Pemeriksaan menggunakan alat reflek hammer
b.    Penderita harus berada dalam posisi rileks dan santai, sehingga gerakan otot akan dapat mucul secara optimal.
c.    Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung, keras pukulan harus dalam batas nilai ambang tidak perlu terlalu keras.
d.    Karena sifat reaksi tergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus dalam keadaan sedikit kontraksi.

Jenis-jenis pemeriksaan reflek fisiologis :
1.    Pemeriksaan Reflek pada Lengan
1.1     Pemeriksaan Reflek Biseps
a.    Pasien duduk dengan santai, lengan dalam keadaan lemas, siku dalam posisi sedikit fleksi dan pronasi.
b.    Letakkan ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, lalu pukul ibu jari tadi dengan menggunakan reflek hammer.
c.    Reaksinya adalah fleksi lengan bawah

        
 





Gambar 1. Pemeriksaan reflek Biseps

1.2     Pemeriksaan Reflek Triseps
a.    Posisi pasien sama dengan pemeriksaan reflek bisep
b.    Apabila lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba trisep tidak teraba tegang) pukullah tendon yang lewat di fossa olekranon.
c.    Maka trisep akan berkontraksi dengan sedikit menyentak.


 







Gambar 2. Pemeriksaan reflek Triseps

2.    Pemeriksaan Reflek pada Tungkai
2.1     Pemeriksaan Reflek Patella
a.    Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
b.    Daerah kanan-kiri tendon patella terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan daerah yang tepat.
c.    Tangan pemeriksa yang satu memegang paha bagian distal, dan tangan yang lain memukul tendon patella tadi dengan reflek hammer secara tepat.
d.    Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps, dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak untuk kemudian berayun sejenak, apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan reflek patella dapat dilakukan dalam posisi berbaring.










 





Gambar 3. Pemeriksaan reflek patellar

2.2  Pemeriksaan Reflek Achiles
a.       Pasien dapat duduk dengan posisi menjuntai, atau berbaring atau dapat pula penderita berlutut dimana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di luar kursi pemeriksaan.
b.      Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon achilles dengan cara menahan ujung kaki ke arah dorso fleksi.
c.        Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat.
d.      Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak.






Gambar 4. Pemeriksaan reflek Achilles
Interpretasi pemeriksaan reflek fisiologis, normal (++) meningkat (+++)


5.2  Pemeriksaan Reflek Patologis
Pemeriksaan reflek patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal. Reflek patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan,lebih mudah muncul, lebih reliable dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ektremitas atas.
Dasar pemeriksaan reflek :
a.       Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan reflek ekstremitas atas, bisa juga dengan menggunakan reflek hammer.
b.      Pasien harus dalam posisi enak dan santai.
c.       Rangsangan harus diberikan dengan cepat dan langsung.

Jenis-jenis pemeriksaan reflek patologis :
1.      Reflek Hoffman Trommer
Cara pemeriksaan, tangan penderita dipegang pada pergelangannya dan pasien melakukan fleksi ringan pada jari-jarinya, kemudian jari tengah pasien diregangkan dan dijepit diantara jari telunjuk dan jari tengah pemeriksa. Kemudian lakukan:
a.        Hoffman “ Goresan” , pada ujung jari tengah pasien lakukan reaksi fleksi dan adduksi ibu jari disertai dengan fleksi telunjuk dan jari-jari lainnya.
b.      Tromner “ Colekan”, pada ujung jari pasien maka akan muncul reaksi yang sama dengan Hoffman.






Gambar 5. Pemeriksaan reflek Hoffman Trommer

2.      Reflek Babinski Sign
Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu reflek. Reaksi yang terjadi pada penderita dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya.
Reflek Babinski, di antaranya :
a.       Cara Chaddock
Pemeriksa menggores dibawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah lateral dengan palu reflek ujung tumpul.
b.      Cara Gordon
Pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat.
c.       Cara Schaefer
Pemeriksa menekan tendon Achilles dengan kuat.
d.      Cara Oppenheim
Pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal.
Interpretasi pada pemeriksaan patologis normal (-)









 



        Gambar 6. Pemeriksaan reflek Babinski           Gambar 7. Pemeriksaan reflek Chaddock








 




Gambar 8. Pemeriksaan reflek Gordon               Gambar 9. Pemeriksaan reflek Schaefer


 




Gambar 10. Pemeriksaan reflek Oppenheim
6. DIAGNOSIS BANDING POLIOMIELITIS
Diagnosis banding poliomyelitis adalah:
1.         Sindroma guillain-barré (neuritis infeksiosa)
Adalah penyakit saraf yang disebabkan system imun tubuh yang menyerang sel saraf.
Gejala klinis neuritis infeksuosa:
a.       Kelumpuhan pada anggota gerak, biasanya simetris
b.      Adanya penurunan kerja otot pernafasan dan pencernaan.
c.       Tidak ada demam saat onset
d.      Arefleksia/tidak ada reflek
e.       Progresifitas dalam beberapa hari sampai 4 minggu

2.         Neuritis traumatika
Adalah peradangan saraf yang disebabkan oleh adanya trauma seperti injeksi dan saraf yang tertekan karena trauma.
Gejala klinis neuritis traumatika:
a.       Bersifat simetris
b.      Arefleksia/tidak ada reflek
c.       Disertai demam

3.         Mielitis transversa
Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area pada medulla spinalis. (Krishnan dan Kerr D, 2004).
Gejala klinis:
a.       Bersifat akut
b.      Disertai demam
c.       Simetris
d.      Mati rasa

4.         Botulisme
Adalah suatu penyakit saraf yang disebabkan bakteri clostridium botulinum yang biasanya terdapat pada makanan kaleng.
Gejala klinis:
a.       Progresifitas 24 jam setelah toksin masuk
b.      Disertai mual dan muntah
c.       Reflek pupil berkurang
d.      Penglihatan ganda
e.       Terjadi pelemahan otot tungkai dan pernafasan
f.        Sensibilitas menurun

5.         Pseudo paralisis non neurogen
Adalah penyakit dengan gejala tidak ada kaku kuduk,tidak pleiositosis.
Disebabkan oleh trauma / kontusio,demam rematik akut,osteomielitis.
6.         Polineuritis
Gejala paraplegia dengan gangguan sensibilitas,dapat dengan paralisis palatum mole dan gangguan otot bola mata.



7. PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN POLIOMIELITIS
7.1  PENATALAKSANAAN POLIOMIELITIS
       Tidak ada pengobatan yang spesifik , penanganaan dilakukan secara simtomatis dan suportif.pengobatan yang di lakukan secara umum dalam mencegah penyakit tersebut yaitu:
a.       Istrahat
b.      Antipiretik (dosisnya  15-20 mg)
c.       Analgesik (dosisnya 15-20 mg)
d.      Diberikan secara oral

1.      poliomielitis abortif
Pengobatannya:
a)    Cukup di berikan analgetika dan sedatifa
b)   Diet adekuat
c)    Istrahat sampai suhu tubuh normal
2.      poliomielitis non paralitik
Pengobatannya:
a)    Sama seperti pada tipe abortif
b)   Selain di beri analgetik dan sedatif dapat di kombinasi dengan kompres hangat selama 15-30 menit, setiap 2-4 jam
3.      poliomielitis parilitik
Pengobatannya:
a)    Membutuhkan perawatan di rumah sakit
b)   Istrahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai fase akut di lampaui
c)    Selama fase akut kebersihan mulut di jaga
d)   Fisioterapi di lakukan sedini mungkin sesudah fase akut mulai dengan latihan pasif dengan maksud untuk mencegah terjadinya deformitas
4.      poliomielitis bulbar
Pengobatannya:
a)    Memerlukan inkubasi endotrakea
b)   Menjaga saluran nafas
c)    Menghindari aspirasi sekret yang tidak dapat di telan.
7.2  PENCEGAHAN POLIOMIELITIS
            Untuk mencegah terjadinya penyakit poliomielitis dapat di lakukan beberapa cara yaitu:
1.    Memberikan imunisasi
Menurut rekomendasi WHO imunisasi dapat di berikan:
a.       Imunisasi polio dapat di berikan 4 kali sejak lahir dengan interval waktu 6-8 minggu
b.      Pemberian imunisasi mulai dari umur:
c.       Umur  0-1 bulan
d.      Umur 2-4 bulan
e.       Umur  6 bulan
f.        Umur  18 bulan
2.    Melakukan survailence accute flaccid paralysis atau usaha penemuan penderita yang di curigai lumpuh layu pada usia di bawah 15 tahun, kemudian dilakukan pemeriksaan pada tinjanya untuk mengetahui adanya polio atau tidak
3.    Melakukan mopping-up, yakni pemberian vaksin massal di daerah yang ditemukan penderita polio terhadap anak usia dibawah 5 tahun tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya
4.    Mengurangi aktivitas yang berlebihan
5.    Memberikan vaksin terhadap penderita dapat di bagi dalam dua bentuk yaitu:
a.    Imunisasipolio dapat dilakukan sejak lahir
b.    Vaksinasi polio hidup yang di berikan melalui mulut (OPV)
c.    Vaksinasi polio mati yang di berikan dengan suntikan (IPV)
d.    Vaksin polio hidup di berikan melalui mulut dengan dosis 2 tetes (0,1 ml)
e.    Vaksinasi polio mati yang di berikan dengan suntikan dengan dosis (0,5 ml) subkutan dalam tiga kali pemberian berturut-turut dalam jarak dua bulan masing-masing dosis
f.      Perlindungan mukosa (selaput usus) yang di timbulkan IPV lebih rendah dari OPV.



8. KOMPLIKASI dan PROGNOSIS POLIOMIELITIS

8.1     Komplikasi Poliomielitis
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita poliomielitis antara lain :
a.       Melena cukup berat sehingga memerlukan transfusi, yang mungkin diakibatkan erosi usus superfisial.
b.      Dilatasi lambung akut dapat terjadi mendadak selama stadium akut atau konvalesen (dalam keadaan pemulihan kesehatan/ stadium menuju kesembuhan setelah serangan penyakit/ masa penyembuhan), menyebabkan gangguan respirasi lebih lanjut.
c.       Hipertensi ringan yang lamanya beberapa hari atau beberapa minggu , biasanya pada stdium akut, mungkin akibat lesi pusat vasoregulator dalam medula.
d.      Ulkus dekubitus dan emboli paru, dapat terjadi akibat berbaring yang lama di tempat tidur, sehingga terjadi pembususkan pada daerah yang tidak ada pergerakan (atrofi otot) sehingga terjadi kematian sel dan jaringan)
e.       Hiperkalsuria, yaitu terjadinya dekalsifikasi ( kehilangan zat kapur dari tulang/ gigi) akibat penderita tidak dapat bergerak.
f.        Kontraktur sendi,yang sering terkena kontraktur antara lain sendi paha, lutut, dan pergelangan kaki.
g.       Pemendekan anggota gerak bawah,biasanya akan tampak salah satu tungkai lebih pendek dibandingkan tungkai yang lainnya, disebabkan karena tungkai yang pendek mengalami antropi otot.
h.       Skoliosis,tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, disebabkan kelumpuhan sebagian otot punggung dan juga kebiasaan duduk atau berdiri yang salah.
i.         Kelainan telapak kaki, dapat berupa kaki membengkok ke luar atau ke dalam.

8.2     Prognosis Poliomielitis
Prognosis bergantung pada jenis polio ( sub-klinis, non paralitik atau paralitik) dan bagian tubuh yang terkena. Jika tidak menyerang otak dan korda spinalis, kemungkinan akan terjadi pemulihan total. Jika menyerang otak atau korda spinalis, merupakan suatu keadaan gawat darurat yang mungkin akan menyebabkan kelumpuhan atau kematian (biasanya akibat gangguan pernafasan).
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian mana yang terkena. Bentuk spinal dengan paralisis pernafasan dapat ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tipe bulber prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder pada jalan nafas. Otot – otot yang lumpuh dan tidak pulih kembali menunjukkan paralisis tipe flasid dengan atonia (tidak ada kontraksi otot), arefleksi(tidak adanya refleks), dan degenerasi(kemunduran fungsi sel).
Komplikasi residural paralisis tersebut ialah kontraktur terutama sendi, subluksasi bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga
2.      Abdoerahman, dkk 1985. Ilmu Kesehatan Anak jilid 2, Jakarta FKUI. Hal 632-634
3.      Behrman, Kliegman,  Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
4.      Editor : Hassan Rusepno dan Alatas Husein. Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1991.
5.      Lumbantobing S M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2012.
6.      Behrman, dkk. 1996. Nelson ilmu kesehatan anak Ed 15. Jakarta. Penerbit buku kedokteran (EGC)
7.      Pasaribu S . http://repository.usu.ac.id/tentang anak/.pdf
8.      Buku ajar pediatric Rudolph/Ann Alpers, Abraham M. Rudolph-Ed.20-jakarta:EGC, 2006
9.      Behrman, R. “ Ilmu Kesehatan Anak Nelson”. Vol 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1999
10.  Hassan, R. “Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak” . Jakarta : Infomedika. 1985
12.  http://www, Repository usu penatalaksanaan dan pencegahan.pdf








1 komentar:

Silahkan memberi komentar yang membangun dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan.