WELCOME TO MEDICAL WORLD

Minggu, 30 Maret 2014

Gangguan Hemostasis

PENDAHULUAN

            Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak. Untuk terjadinya perdarahan dari suatu pembuluh, dinding pembuluh harus mengalami kerusakan dan tekanan di bagian dalam pembuluh harus lebih besar daripada tekanan di luarnya untuk memaksa darah keluar dari defek tersebut.



Kapiler kecil, arteriol, dan venula sering pecah oleh trauma ringan dalam kehidupan sehari-hari, trauma tersebut merupakan penyebab perdarahan tersering meskipun kita sering tidak menyadari bahwa telah terjadi kerusakan. Mekanisme hemostatik inheren tubuh secara normal sudah memadai untuk menambal defek dan menghentikan pengeluaran darah dari pembuluh mikrosirkulasi halus ini. Perdarahan dari pembuluh sedang sampai besar, biasanya tidak dapat di hentikan oeh mekanisme hemostatik tubuh saja. Perdarahan dari arteri yang terputus lebih deras dan karenanya lebih berbahaya daripadaa perdarahaan vena, karena tekanan yang mendorong keluar jauh lebih besar di arteri ( tekanan darah arteri jauh lebih besar daripada tekanan darah vena).
Hemostasis melibatkan tiga langkah utama yaitu : Spasme vaskular, pembentukan sumbat trombosit, koagulasi darah (pembentukan bekuan darah).
            pada bab ini kita akan membahas mekanisme hemostasis dan sistem koagulasi serta kelainan-kelainan yang ada pada hemostasis dan penanganannya.



TINJAUAN TEORI

1.                  Hemostasis dan Pembekuan Darah
            Hemostasis berarti pencegahan hilangnya darah. Bila pembuluh darah mengalami cedera atau ruptur, hemostasis terjadi melalui beberapa cara (konstriksi pembuluh darah, pembentukan sumbat platelet, pembentukan bekuan darah sebagai hasil dari pembekuan darah dan pertumbuhan jaringan fibrosa ke dalam bekuan darah untuk menutup lubang pada pembuluh secara permanen).
1.                  Konstriksi Pembuluh Darah
            Setelah pembuluh darah ruptur, dinding pembuluh darah yang rusak menyebabkan otot polos dinding pembuluh berkontraksi sehingga aliran darah dari pembuluh yang ruptur akan berkurang. Kontraksi terjadi sebagai akibat dari, spasme niogenik lokal, faktor autakoid lokal yang berasal dari jaringan yang terkena trauma dan platelet darah, serta refleks saraf. Refleks saraf dicetuskan oleh impuls saraf nyeri atau impuls-impuls sensorik lain dari pembuluh yang rusak atau dari jaringan yang berdekatan. Vasokonstriksi dari kontraksi miogenik pada pembuluh darah terjadi karena kerusakan pada dinding pembuluh darah, untuk pembuluh darah yang kecil, platelet mengakibatkan vasokonstriksi dengan melepaskan sebuah substansi vasokonstriktor (Tromboksan A2). Semakin berat kerusakan yang terjadi, semakin hebat spasmenya. Spasme pembuluh darah ini dapat berlangsung beberapa menit bahkan beberapa jam, dan selama itu berlangsung proses pembentukan sumbat platelet dan pembekuan darah.

2.                  Pembentukan Sumbat Platelet
Trombosit mempunyai banyak cirri khas fungsional sel lengkap, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat berproduksi. Di dalam sitoplasmanya terdapat faktor-faktor aktif seperti :

a.                   Molekul aktin dan myosin , merupakan protein kontraktil sama seperti yang terdapat pada sel-sel otot dan juga protein kontraktil lainnya yaitu trombostenin, dapat menyebabkan trombosit berkontraksi.
b.                  Sisa-sisa retikulum endoplasma dan aparatus Golgi, berfungsi mensintesis berbagai enzim, terutama menyimpan sejumlah besar ion kalsium.
c.                   Mitokondria dan sistem enzim, mampu membentuk adenosine trifosfat (ATP) dan adenosit difosfar (ADP)
d.                  Sistem enzim yang mensistesis prostaglandin yang merupakan hormon lokal, menyebabkan berbagai reaksi pembuluh darah dan reaksi lokal lainnya.
e.                   Faktor stabilitas fibrin
f.                   Faktor pertumbuhan (growth factor), menyebabkan penggandaan dan pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, dan fibroblast, sehingga menimbulkan pertumbuhan selular yang akhirnya memperbaiki dinding pembuluh yang rusak.
            Membran sel trombosit, di permukaannya terdapat lapisan glikoprotein yang mencegah pelekatan dengan endotel normal, tetapi menyebabkan pelekatan dengan daerah dinding pembuluh yang cedera terutama pada sel-sel endotel yang cedera dan melekat pada jaringan kolagen yang terbuka di bagian dalam pembuluh. Selain itu, membran mengandung banyak fosfolipid yang mengaktifkan berbagai tingkat dalam proses pembekuan darah.
            Trombosit melakukan perbaikan terhadap pembuluh yang rusak didasarkan pada beberapa fungsi penting dari trombosit itu sendiri. Pada waktu trombosit bersinggungan dengan permukaan pembuluh yang rusak, terutama dengan serabut kolagen di dinding pembuluh, sifat-sifat trombosit segera berubah. Trombosit mulai membengkak, bentuknya menjadi ireguler dengan tonjolan-tonjolan yang mencuat dari permukaannya, protein kontraktilnya berkontraksi dengan kuat dan menyebabkan pelepasan granula yang mengandung berbagai faktor aktif. Trombosit menjadi lengket sehingga melekat pada kolagen dalam jaringan dan pada protein (factor von Willebrand) yang bocor dari plasma menuju jaringan yang trauma, trombosit menyekresi sejumlah besar ADP, dan enzimnya membentuk tromboksan A2. ADP dan tromboksan kemudian mengaktifkan trombosit yang berdekatan, dan karena sifat lengket dari trombosit tambahan ini maka akan menyebabkan melekat pada trombosit yang sudak aktif. Dengan demikian pada setiap lokasi dinding pembuluh darah yang luka, dinding pembuluh yang rusak menimbulkan suatu siklus aktivasi trombosit yang jumlahnya terus meningkat yang menyebabkan menarik lebih banyak lagi trombosit tambahan, sehingga membentuk sumbat trombosit.
            Sumbat ini pada mulanya longgar, namun biasanya berhasil menghalangi hilangnya darah bila luka di pembuluh ukurannya kecil. Setelah itu, selama proses pembekuan darah selanjutnya, benang-benang fibrin terbentuk. Benang fibrin ini melekat pada trombosit, sehingga terbentuklah sumbat yang kuat.
3.                  Pembekuan Darah
Pembekuan terjadi melalui tiga langkah utama:
                        1.            Sebagai respon terhadap rupturnya pembuluh darah atau kerusakan darah itu sendiri, rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah yang melibatkan lebih dari selusin faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah terbentuknya suatu kompleks substansi teraktivasi yang secara kolektif disebut aktivator protrombin.
                        2.            Aktivator protrombin mengatalisis pengubahan protrombin menjadi trombin
                        3.            Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi benang fibrin yang merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk pembekuan darah.


 











Gambar 1. Skema perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen untuk membentuk benang fibrin.
            Mekanisme pembentukan aktivator protrombin, dimulai bila terjadi trauma pada dinding pembuluh darah dan jaringan yang berdekatan, trauma pada darah atau kontak darah dengan sel endotel yang rusak atau dengan kolagen dan unsur lainnya di luar pembuluh darah.  Aktivator protrombin biasanya dapat dibentuk melalui dua cara jalur ekstrinsik dan intrinsik, walaupun pada kenyataannya kedua cara ini saling berinteraksi secara konstan satu sama lain. Jalur ekstrinsik dimulai dengan terjadinya trauma pada dinding pembuluh dan jaringan sekitarnya dan jalur instrinsik berawal di dalam darah sendiri. Pada kedua jalur ini, ekstrinsik atau instrinsik terdapat berbagai protein plasma yang berbeda yang disebut faktor-faktor pembekuan darah. Sebagian besar faktor ini masih dalam bentuk enzim proteolitik yang inaktif, menjadi aktif yang akan menimbulkan proses pembekuan berupa reaksi-reaksi yang beruntun dan bertingkat.
Tabel 1. Faktor Koagulasi
Nomor faktor
Nama deskriptif
Bentuk aktif
I
Fibrinogen
Subunit fibrin
II
Protrombin
Serin protease
III
Faktor jaringan
Reseptor/kofaktor*
V
Faktor labil
Kofaktor
VII
Prokonvertin
Serin protease
VIII
Faktor antihemofilik
Kofaktor
IX
Faktor Christmas
Serin protease
X
Factor Stuart-Prower
Serin protease
XI
Plasma thromboplastin antecedent
Serin protease
XII
Faktor Hageman (kontak)
Serin protease
XIII
Fibrin stabilizing factor
Prakalikrein (faktor Fletcher)
HMWK (faktor Fitzgerald)
Transglutaminase
Serin protease
Kofaktor*
HMWK, high molecular weight kininogen (kininogen berberat molekul tinggi)
*Aktif tanpa modifikasi proteolitik
1)                  Jalur Ekstrinsik
Mekanisme ekstrinsik sebagai awal pembentukan aktivator protrombin dimulai dengan dinding pembuluh darah atau jaringan ekstravaskuler yang rusak kontak dengan darah. Kejadian ini menimbulkan langkah-langkah :
a.                   Pelepasan faktor jaringan. Jaringan yang luka melepaskan beberapa faktor yang disebut faktor jaringan atau tromboplastin jaringan. Faktor ini terutama terdiri dari fosfolipid dari membran jaringan ditambah kompleks lipoprotein yang berfungsi sebagai enzim proteolitik.
b.                  Aktivasi Faktor X-peranan Faktor VII dan faktor jaringan. Kompleks lipoprotein dari faktor jaringan selanjutnya bergabung dengan Faktor VII dan bersamaan dengan hadirnya ion kalsium, faktor ini bekerja sebagai enzim terhadap Faktor X untuk membentuk Faktor X yang teraktivasi (Xa).
c.                   Efek dari Faktor X yang teraktivasi (Xa) dalam membentuk aktivator protrombin-peranan Faktor V.
Faktor X yang teraktivasi segera berikatan dengan fosfolipid jaringan yang merupakan bagian dari faktor jaringan, atau dengan fosfolipid tambahan yang dilepaskan dari trombosit, juga dengan Faktor V untuk membentuk senyawa yang disebut aktivator protrombin.


 












Gambar 2. Jalur ekstrinsik sebagai awal pembekuan darah
2)                  Jalur Intrinsik
Mekanisme kedua untuk awal pembentukan aktivator protrombin, dengan demikian juga merupakan awal dari proses pembekuan. Dimulai dengan terjadinya trauma terhadap darah itu sendiri atau darah yang kontak dengan kolagen pada dinding pembuluh darah yang rusak. Proses berlangsung melalui serangkaian reaksi kasakade:
a.                   Pengaktifan Faktor XII dan pelepasan fosfolipid trombosit oleh darah yang terkena trauma.
b.                  Pengaktifan Faktor XI, Faktor XII yang teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap Faktor XI dan juga mengaktifkannya. Ini merupakan langkah kedua dalam jalur intrinsik, reaksi ini juga memerlukan kininogen HMW dan dipercepat oleh prekalikerin.
c.                   Pengaktifan Faktor IX oleh faktor XI yang teraktivasi bekerja secara enzimatik terhadap Faktor IX dan mengaktifkannya.
d.                  Pengaktifan Faktor X-peranan Faktor VIII. Faktor IX yang teraktivasi, bekerja sama dengan Faktor VIII teraktivasi dan dengan fosfolipid trombosit dan faktor 3 dari trombosit yang rusak mengaktifkan Faktor X.
e.                   Kerja Faktor X teraktivasi dalam pembentukan aktivator protrombin-peranan Faktor V. langkah dalam jalur intrinsik ini pada prinsipnya sama dengan langkah terakhir dalam jalur ekstrinsik. Faktor X yang teraktivasi bergabung dengan Faktor V dan trombosit atau fosfolipid jaringan untuk membentuk suatu kompleks yang disebut aktivator protrombin.
Aktivator protrombin dalam beberapa detik mengawali pemecahan protrombin menjadi trombin, dan dengan demikian proses pembekuan selanjutnya dapat berlangsung.

















 




















Gambar 3. Jalur Intrinsik sebagai awal pembekuan darah


2. PENYAKIT –PENYAKIT YANG MENYEBABKAN GANGGUAN HEMOSTASIS

1.      Gangguan vascular
a.       Purpura Henoch-Schonlein
DEFINISI
      Merupakan penyakit autoimun (IgA mediated) berupa hipersensitivitas vaskulitis paling sering ditemukan pada anak-anak.
ETIOLOGI
      Sampai saat ini masih belum diketahui pasti; IgA diduga berperan penting, ditandai dengan peningkatan konsentrasi IgA serum, kompleks imun, dan deposit IgA pada dinding pembuluh darah dan mesangium ginjal
EPIDEMIOLOGI
      Rata-rata 14 kasus/100.000 anak usia sekolah; prevalensi tertinggi pada usia 2-11 tahun (75%); 27% kasus ditemukan pada dewasa,
b.      Scurvy
DEFINISI
      Gangguan nutrisi yang disebabkan defisiensi vitamin C yang menyebabkan kegagalan sintesis kolagen dan pembentukan osteoid yang mengakibatkan osteoporosis dan disertai perdarahan subperiostal dan submukous.
ETIOLOGI
      Kurangnya vitamin C yang terkandung dalam intake makanan sehari-hari dapat terjadi pada keadaan seperti :
a)      Bayi yang hanya mendapatkan susu buatan dan bukan ASI dalam 1 tahun pertama
b)      Kebiasaan mengkonsumsi makanan junkfood dan alkoholisme
c)      Ketidakmampuan ekonomi untuk menyediakan buah-buahan dan sayur-sayuran yang kaya akan vitamin C
d)     Perokok berat karena kurangnya absorbsi vitamin C dan meningkatnya katabolisme
EPIDEMIOLOGI
            Biasanya pasien yang lebih tua atau menggunakan alcohol dan diet rendah buah dan sayur-sayuran. Bayi dan anak-anak dengan diet yang rendah karena kesehatan, ekonomi atau alas an social yang memiliki resiko terjadinya scurvy.
2.      Gangguan kelainan jumlah trombosit
a.       Purpura trombositopenik imun (PTI)
DEFINISI
PTI adalah suatu penyakit perdarahan yang didapat sebagai akibat dari penghancuran trombosit yang berlebihan, yang ditandai dengan trombositopenia (trombosit <100.00mm3), purpura, gambaran darah tepi yang umumnya normal dan tidak ditemukan penyebab trombositopenia yang lainnya.
ETIOLOGI
Pada pengamatan diketahui bahwa seorang ibu yang menderita PTI baik aktif maupun sedang dalam masa remisi sering melahirkan anak yang kemudian menderita PTI. Keadaan ini kemudian menimbulkan dugaan bahwa adanya suatu factor humoral dari ibu yang masuk kedarah bayi. Diketahui pula pada beberapa pasien anemia hemolitik autoimun yang sering mendapat episode dari PTI (sindrom evan) menunjukan adanya factor autoimun sebagai penyebab

EPIDEMIOLOGI
PTI diperkirakan merupakan kelainan perdarahan didapat yang banyak ditemukan oleh dokter anak, dengan insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak pertahun. Ddibagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. soetomo terdapat 22 pasien baru pada tahun 2000. 80 – 90% anak dengan PTI menderita episeode perdarahan akut yang akan pulih dalam beberapa hari atau minggu dan sesuai dengan namanya (akut) akan sembuh dalam waktu 6 bulan. Pada PTI akut tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan akan mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. Hamper selalu ada riwayatinfeksi bakteri, virus  ataupun imunisasi 1-6 minggu sebelum terjadinya penyakit ini. Perdarahan sering terjadi saat trombosit dibawah 20.000/mm3 . PTI kronis terjadi pada anak usia ,7 tahun, sering terjadi pada anak perempuan. PTI yang  rekuren didefenisikan sebagai adanya episode trombositopenia >3 bulan dan terjadi 1-4% anak dengan PTI.
b.      Penyakit von willebrend (PVW)
DEFINISI
PVW adalah kelainan perdarahan herediter disebabkan oleh defisiensi factor von willebrand. Pvw ini membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah dan antara sesamanya, yang diperlukan untuk pembekuan darah yang normal.  PVW adalah suatu glikoproteinmultimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi utama.:
·                  Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stress berat dengan menghubungkan reseptor membran trombosit ke subendotel pembuluh darah.
·                  Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu protein koagulasi darah yang penting.Umumnya faktor von Willebrand membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah yang normal.
ETIOLOGI
Von Willebrand Factor (VWF) adalah protein yang besar yang membantu platelet untuk saling melekat dan menempel pada dinding pembuluh darah yang terluka. Hal ini membuat protein ini sangat penting dalam pembentukan gumpalan. Faktor genetik menyebabkan kurangnya jumlah VWF (tipe 1), abnormalitas dari struktur VWF (tipe 2) atau hampir tidak adanya VWF (tipe 3). Tipe 1 adalah tipe paling umum dan memiliki gejala ringan. Tipe 3 jarang, tetapi penderita sangat parah.
EPIDEMIOLOGI
PVW ditemukan pada study pedigree sebuah keluarga secara cermat di Kepulauan Aland. Penyakit ini merupakan penyakit herediter yang umum. Diturunkan sebagai satu sifat dominan autosomal dengan prevalensi sekitar 1/100 sampai 3/100.000. namun PVW berat dengan riwayat perdarahan yang mengancam jiwa terjadi pada kurnag dari 5 orang per 1 juta penduduk dinegara barat.


3.      Gangguan koagulasi
1.      Hemophilia A dan B
DEFINISI
Hemophilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X. Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex—linked recessive yaitu :
-       Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi besi disfungis faktor pembekuan          VIII (F VIIIc)
-       Hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau disfungsi FIX (faktor Christmas).
Sedangkan hemophilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan factor XI yang diturunkan secara autosomal recesive  pada kromosom 4q32q35. Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen.
                        ETIOLOGI
                        Hemofilia A dan hemophilia B disebabkan oleh kerusakan pada pasangan kromosom. Defek genetic ini berpengaruh pada produksi dan fungsi dari fakrot pembekuan. Semakin sedikit factor pembekuan tersebut maka semakin berat derajan hemophilia yang di derita. Hemophilia A disebabkan oleh kelainan produksi dari factor VIII, sedangkan hemophilia B disebabkan oleh kelainan produksi dari factor IX.
                        EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini bermanifestasi klinis pada laki-laki. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1 : 10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1 : 25.000 – 30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kejadian di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan kasus hemofilia B, yaitu berturut-turut mencapai 80 – 85%dan 10 – 15% tanpa memandang ras, geografi, dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20 – 30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga.
2.      Disseminate intravascular coagulation (DIC)
DEFINISI
DIC merupakan Merupakan suatu keadaan dimana sistem koagulasi dan/ atau fibrinolitik teraktivitasi secara sistemik, menyebabkan koagulasi intravaskular luas dan melebihi mekanisme antikoagulan alamiah.

ETIOLOGI
Factor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya DIC adalah
a.    Infeksi mikroorganisme
b.    Keganasan
c.     Gigitan ular
d.    Luka bakar

EPIDEMIOLOGI
*         Insiden :         
§   Sekitar 18.000 kasus yang muncul di US pada tahun 1994
§   Sekitar 1% dari semua pasien yang dirawat di RS

*         Frekuensi :
§   DIC bisa muncul sekitar 30% sampai 50% pasien dengan sepsis yang parah
§   Kematian total sekitar 50% sampai 70%. Angka bergantung pada penyakit             penyebab, tetapi DIC menambah buruk prognosa semua penyakit.
§   Dalam hal trauma luas, DIC meningkatkan kematian sekitar 2 kali lipat.

*         Demografi :
§   Bisa muncul pada semua usia
§   Perbandingan sama antara pria dan wanita
§   Perbandingan sama di semua ras
§   Tidak diketahui apakah ada pengaruh genetik, sosioekonomi dan geografis.

3.      Defisiensi vitamin K
DEFINISI
Defisiensi vitamin k merupakan berkurangnya  vitamin K dalam tubuh dimana vitamin ini larut dalam lemak yang secara alamiah banyak terdapat dalam sayur dan buah-buahan dan dapat disintesis oleh flora bakteri dalam usus dimana vitamin ini penting untuk sintesis prokoagulan factor II, VII, IX dan X serta antikoagulan protein C dan S.
ETIOLOGI
Keadaan yang berhubungan dengan defisiensi factor pembekuan yang bergantung pada vitamin K adalah :
a.       Prematuris
b.      Asupan makanan yang tidak adekuat
c.       Adanya obstruksi biliaris
d.      Sindrom malabsorbsi serta gangguan saluran cerna kronis
e.       Kekurangan vitamin K pada ibu

3. Gejala Klinis Gangguan Hemostasis

1.   Idiopathic Trombocytopenic Purpura
Gejala Klinis:
Dapat timbul mendadak, terutama pada anak, tetapi dapat pula hanya berupa kebiruan
atau epitaksis selama jangka waktu yang berbeda-beda. Tidak jarang terjadi gejala
timbul setelah suatu peradangan infeksi saluran napas bagian atas akut. Kelainan yang
paling sering ditemukan ialah petekie dan kemudian ekimosis yang dapat tersebar
diseluruh tubuh. Keadaan ini kadang-kadang dapat dijumpai pada selaput lendir
terutama hidung dan mulut sehingga dapat terjadi epitaksis dan perdarahan gusi dan
bahkan timbul tanpa kelainan kulit. Pada ITP akut dan berat dapat timbul pula selaput
lendir yang berisi darah (bula hemoragik). Gejala lainnya ialah perdarahan traktus
genitourinarius (menoragia, hematuria), traktus digestivus (hematemesis, melena),
pada mata (konjungtiva, retina) dan terberat namun jarang terjadi ialah perdarahan
pada sistem saraf pusat (perdarahan subdural dan lain-lain). Pada fisis umumnya tidak
banyak dijumpai kelainan kecuali adanya petekia dan ekimosis. Pada kira-kira
seperlima kasus dapat dijumpai splenomegali ringan (teutama pada hiperplenisme).
Mungkin pula ditemukan demam ringan bila ditemukan perdarahan berat atau
perdarahan traktus gastrointestinal. Renjatan (shock) dapat terjadi bila kehilangan
darah banyak. Pada ITP menahun, umumnya hanya ditemukan kebiruan atau
perdarahan abnormal lain dengan remisi spontan dan eksaserbasi. Remisi yang terjadi
umumnya tidaklah sempurna. Harus waspada terhadap kemungkinan ITP menahun
sebagai gejala stadium preleukimia.


2.   Penyakit Von Willebrand
Gejala Klinis:   
Adanya perdarahan mukoktaneus, perdarahan sendi dan intramuscular, epistaksis, gusi berdarah, menorrhagia, mudah memar.


3.   Disseminated Intravascular Coagulation
Gejala klinis:
Petechie, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, lebam pada kulit dan membrane mukosa, perdarahan multiple.

4.   Hemofilia
Gejala klinis:
Manifestasi klinis hemofilia A serupa dengan hemofilia B yaitu perdarahan yang sukar berhenti. Secara klinis hemofilia dapat dibagi menjadi hemofilia ringan, sedang, berat. Pada penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang terjadi dan perdarahan terjadi setelah trauma berat atau operasi. Pada hemofilia sedang, perdarahan spontan dapat terjadi atau dengan trauma ringan. Sedangkan pada hemofilia berat perdarahan spontan sering terjadi dengan perdarahan ke dalam sendi, otot dan organ dalam. Umumnya penderita hemofilia berat, perdarahan sudah mulai terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Perdarahan dapat terjadi di mukosa mulut, gusi, hidung, saluran kemih, sendi lutut, pergelangan kaki dan siku tangan, mudah timbul lebam sejak usia dini.






















4. DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING GANGUAN HEMOSTASIS
5.1              Diagnosis Gangguan Hemostasis
a.       Anamnesa pada gangguan hemostasis :
Pada anamnesis gangguan hemostasis akan didapatkan keluhan-keluhan antara lain :
Keluhan utama :         Perdarahan yang panjang atau berulang
Keluhan tambahan
1.      Epistaksis
2.      Hemoptisis
3.      Melena
4.      Hematemesis
5.      Hematuria
6.      Nyeri pada sendi
Berdasarkan riwayat keluarga
1.      hemofilia ( menderita atau sebagai carier )
2.      terdapat riwayat perdarahan abnormal atau berat dalam keluarga
3.      diabetes melitus
Riwayat penggunaan obat - obatan antikoagulan

b.      Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus menentukan sifat perdarahan dan mengidentifikasi tanda-tanda penyakit primer sistemik.
1.      Jika dicurigai adanya defek pada hemostasis primer (interaksi trombosit dan pembuluh darah) maka pada pemeriksaan fisik akan di jumpai:
a)      Perdarahan selaput lendir misalnya epistaksis, hematuria , menoragia
b)      Petekie dikulit dan selaput lendir
Petekie merupakan lesi hemoragik keunguan, datar, bulat tidak memucat berdiameter 2-4 mm,yang dapat bergabung menjadi lesi yang lebih besar yang disebut purpura. Lesi ini ditemukan pada membran mukosa dan kulit, terutama didaerah yang bebas atau daerah yang mendapat tekanan
c)      Lesi ekimosis kecil-kecil yang multipel
Ekimosis merupakan tanda hitam dan biru adalah daerah ekstravasasi darah yang luas dalam jaringan subkutan dan kulit. Perdarahan baru berwarna biru-hitam  dan berubah warna menjadi hijau-coklat dan kuning pada penyembuhan.
2.      Jika dicurigai adanya defek pada hemostasis sekunder(sistem koagulasi) maka pada pemeriksaan fisik akan dijumpai
a)      Perdarahan –dalam kedalam sendi dan otot
b)      Lesi ekimosis yang luas
c)      hematoma

c.       Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis gangguan hemostasis maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, antara lain :
1.      Tes Penyaring
Terdiri atas :
a.       Tes untuk menilai pembentukan hemostatic plug :
1)      Hitung Trombosit (platelet count)
2)      Apusan Darah Tepi
3)      Bledding Time
4)      Tes Torniquet (Rumple-Leede)
b.      Tes untuk menilai pembentukan thrombin terdiri atas :
1)      APTT menilai intrinsic pathway
2)      PPT menilai extrinsic pathway
c.       Tes untuk menilai reaksi thrombin-fibrinogen terdiri atas :
1)      Thrombin Time
2)      Stabilitas bekuan dalam salin fisiologik dan 5 M urea
d.      Tes Parakoagulasi





2.      Tes Khusus
Tes khusus lanjutan, yaitu tes untuk mengetahui penyebab kelainan faal hemostasis tersebut. Tes ini dikerjakan sesuai petunjuk tes penyaring :
1)      Tes faal trombosit
2)      Tes Ristocetin
3)      Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)
4)      Pengukuran alpha-2 antiplasmin

Tabel 1. Pemeriksaan pembekuan
Pemeriksaan
Tujuan
Nilai Normal
Keterangan
Masa perdarahan
Menilai fungsi trombosit dan vaskular
2-9,5 menit
Mamanjang pada trombositopenia, trombositopati, penyakit von-willebrand, ingesti aspirin, terapi anti koagulan dan uremia
Hitung trombosit
Menilai konsentrasi trombosit
150.000-400.000/mm3
Menurun pada ITP dan keganasan sumsum tulang, obat-obatan khususnya agen kemoterapeutik, dapat menyebabkan masa perdarahan memanjang. Meningkat pada permulaan ganggua mieloproliferatif
Reaksi Pembekuan
Menilai kecukupan trombosit untuk membentuk bekuan fibrin
Bekuan akan beretraksi sampai menjadi setengah dari ukuran semula dalam 1 jam, menjadi bekuan padat dalam 24 jam jika tidak diganggu
Retraksi bekuan buruk pada trombositopenia dan polisitemia; lisis bekuan pada fibrinolisis
Waktu pembekuan Lee-Menilai mekanisme 6-12 menit
White (koagulasi)

koagulasi-waktu
yang diperlukan
untuk membentuk
 bekuan padat


Tes yang tidak sensitive.
Memanjang
pada defisiensi factor koagulasi, pada terapi antikoagulan yang berlebihan dan dengan antibiotic tertentu. Menurun dengan terapi kortikosteroid
International Normalized Ratio (INR)
Standarisasi waktu protrombin
Pencegahan dan
pengobatan
thrombus vena 2,0-3,0
Digunakan sebagai penuntun untuk terapi antikoagulan oral yang diresepkan
Waktu protromin (PT)
Mengukur jalur
Pembekuan
 ekstrinsik
11-16 detik
Memanjang pada defisiensi factor VII, X dan fibrinogen, terapi dikumarol yang berlebihan, penyakit hati berat dan def. vit. K
Waktu
Tromboplastin
parsial
teraktivasi (APTT)
Mengukur jalur
Pembekuan
intrinsic
dan bersama
26-42 detik
Mamanjang pada def. factor VIII sampai XII dan
fibrinogen, pada terapi antikoagulan didlm sirkulasi, pada
peny. Hati dan DIC dan def. vit. K. memendek pada
keganasan
Waktu thrombin (TT) atau
 pembekuan
trombin
Mengukur pembentukkan fibrin dari
 fibrinogen
10-13 detik
Memanjang pada kadar fibrinogen rendah, DIC, penyakit
hati, terapi antikoagulan dan disproteinemia
Tes pembentukan tromboplastin (TGT)
Mengukur kemampuan pembentukan
tromboplastin
12 detik atau kurang
Memanjang pada trombositopenia, dengan defisiensi factor VIII sampai XII dan antikoagulan di dalam sirkulasi
Tes D-Dimer
Mengukur pemecahan produk-produk
bekuan fibrin
plasma
<500
Meningkat pada DIC, emboli paru, infark, terapi
trombolitik, pembedahan dan trauma
Tes agregasi trombosit
Tes fungsi
Trombosit
Trombosit mengalami agregasi dalam waktu tertentu
 jika terpajan ADP, kolagen dan
 epinefrin
Agregasi berkurang atau tidak ada pada trombastenia, ingesti aspirin, gang. Mieloproliferatif, peny. Hati berat, disproteinemia, peny. Von-wille
brand

Untuk penderita dengan riwayat perdarahan atau mempunyai riwayat yang mengesankan kearah kelainan hemostasis harus dikerjakan hitung trombosit, waktu perdarahan , waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial yang diaktifkan



Tabel 2.Gambaran Laboratorium pada Hemofilia A, B dan von-willebrand

Hemofilia A
Hemofilia B
Von-Willebrand
Pewarisan
X-linked recessive
X-linked recessive
Autosomal Dominant
Lokasi perdarahan
Utama
Sendi, otot, pascatrauma/operasi
Sendi, otot, posttrauma/operasi
Mukosa, kulit, post
trauma/ operasi
Jumlah trombosit
Normal
Normal
Normal
Waktu perdarahan
Normal
Normal
Memanjang
PPT
Normal
Normal
Normal
aPTT
Memanjang
Memanjang
Memanjang/normal
F VIII C
Rendah
Normal
Rendah
F VIII AG
Normal
Normal
Rendah
F IX
Normal
Rendah
Normal
Tes ristostetin
Normal
Normal
Terganggu

Tabel 3.Gambaran laboratorium perdarahan akibat Def. Vitamin K, Penyakit hati, dan DIC
Komponen
Def. Vitamin K
Penyakit Hati
DIC
Morfologi eritrosit

PTT
PT
Fibrin Split Product
Trombosit
Faktor koagulasi yang menurun
Normal

Memanjang
Memanjang
Normal
Normal
Faktor II,VII,IX,X
Sel target

Memanjang
Memanjang
Normal/ naik
Normal / turun
I,II,V,VII,IX,X
Sel target, sel burr. Fragmentosit, sferosit
Memanjang
Memanjang
Naik
Menurun
I,II,V,VIII,XIII




5.1.1    Gangguan Homostasis
a)      Purpura thrombositopenik Idiopatik (ITP)
Pada ITP dapat dijumpai kelainan laboratorium berupa :
1.      Darah tepi : trombosit biasanya 10-100 x 109 /L.
2.      Sumsum tulang : Jumlah megakariosit meningkat disertai inti banyak
(multinuclearity) disertai lobulasi
3.      Imunologi : Adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit atau dalam serum. Yang lebih spesifik adalah antibodi terhadap gpIIb/IIIa atau gpIb

Diagnosis ditegakkan jika dijumpai:
1)      Gambaran klinik berupa perdarahan kulit atau mukosa
2)      Trombositopenia
3)      Sumsum tulang : megakariosit normal atau meningkat
4)      Antibodi antiplatelet IgG (+), tetapi bukan suatu keharusan
5)      Tidak ada penyebab trombositopenia sekunder.

b)      Hemofili A dan B
Pemeriksaan laboraturium untuk kasus hemofili adalah :
1.      Tes penyaring
APTT memanjang, sedangkan waktu perdarahn, PPT dan waktu trombin normal. APTT dapat tidak memanjang  (normal) pada kasus hemofili ringan.
2.      Tes konfirmatif terdiri atas :
a.       Pengukuran kuantatif faktor VIII dan IX
b.       Jika faktor VIII defisiensi makan dilanjutkan dengan pemeriksaan faktor non Willebrand.
3.    Pemeriksaan pada karier wanita juga menunjukkan faktor VIIIC menurun (50%)
Kriteria diagnosa :
a.       Kecenderungan terjadi perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu tindakan, atau timbulnya kebiruan atau hematoma setelah trauma ringan atau terjadinya hemarthrosis
b.      Riwayat keluarga
c.       Masa pembekuan memanjang
d.      Masa protrombin normal, masa tromboplastin memanjang
e.       Masa pembekuan tromboplastin abnormal

c)      Penyakit Von Willebrand (VWD)
Pada VWD kelainan laboraturium dapat dijumpai  dalam bentuk, seperti :
1.             Waktu perdarahan memanjang
2.             APTT sedikit meningkat
3.             Ristocetin induced platelet aggregation test negatif, kecuali pada tipe Iib
4.             Elektroforesis : VWD menurun pada tipe I atau nol pada tipe III
5.             Imunoelektroforesis : multimer besar negatif, dengan multimer sedang meningkat pada tipe Iib

d)     Dissaminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada pemeriksaan laboratorium dasar leukositosis sering ditemukan. Granulopenia juga dapat terjadi karena ketidakmampuan sumsum tulang untuk mengimbangi kerusakan neutrophil yang cepat.
Kriteria laboratorik untuk DIC adalah :
1.        Tes grup I (bukti adanya aktivasi prokoagulasi)
a.         Peningkatan fragmen prothrombin 1+2
b.        Peningkatan fibrinopeptida A
c.         Peningkatan fibrinopeptida B
d.        Peningkatan komplek TAT (thrombin-antithrombin)
e.         Peningkatan D-dimer
2.        Tes grup II (bukti adanya aktivasi sistem fibrinolitik)
a.         Peningkatan D-dimer
b.        Peningkatan FDP
c.         Peningkatan plasmin
d.        Peningktan kompleks plasmin-antiplasmin

3.        Tes grup III (bukti adanya konsumsi inhibitor)
a.         Penurunan AT-III
b.        Penurunan alpha-2-antiplasmin
c.         Penurunan heparin kofaktor II
d.        Penurunan protein C dan S
e.         Peningkatan kompleks TAT
4.        Tes grup IV (bukti adanya kerusakan atau gagal end-organ)
a.              Peningkatan LDH
b.             Peningkatan kreatinin serum
c.              Penurunan pH
d.             Penurunan pAO2

Untuk menegakkan diagnostik laboraturium DIC hanya diperlukan satu dari masing-
masing grup I, II, III dan paling sedikit dua dari grup IV. D-dimer yang paling reliabel
untuk pemeriksaan tes grup I dan II jika diperiksa dengan cara yang benar.

e)      LLA (Leukemia Limfositik Akut)
1.      Pemeriksaan Darah Tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan sumsum tulang yaitu berupa pansitopenia, limfositosis, yang kadang kadang menyebabkan gambaran darah teoi monoton dan terdapat sel blas.Terdapatnya sel blas dalam darah tepi merupakan gejala potognomonik untuk leukemia.
2.      Sumsum Tulang
Dari pemeriksaan susmsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis.  Pada LMA selain gambaran yang monoton, terlihat pula adanya hiatus leukemikus yaitu keadaan yang memperlihatkan banyak sel blas (mieloblas), beberapa sel tua (segmen) dan sangat kurang bentuk pematangan sel yang berada diantaranya.
3.      Biopsi Limpa
Akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel leukemiadan sel yang berasal dari jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, granulosit dan pulp cell.
5.2       Diagnosa Banding Gangguan Hemostasis
            Diagnosa banding gangguan hemostasis adalah :
a)      Diagnosa Banding ITP
1.      Pseudothrombocytopenia
2.      DIC
3.      Viral Infections (especially HIV and EBV)
4.      Drug-induced thrombocytopenia (heparin, sulfonamides, quinidine)
b)      Diagnosa Banding Hemofilia
1.      Sindrom mielodisplasia (MDS)
2.      Platelet dysfunction
3.      Leukimia kronis
c)      Diagnosa Banding Penyakit Von Willebrand (VWD)
1.      Bernard-Soulier Syndrome
2.      Hemophilia A and B
3.      Hemophilia C
4.      Platelet Disorders
d)      Diagnosa Banding Dissaminated Intravascular Coagulation (DIC)
1.      Atypical hemolytic-uremic syndrome
2.      Hemolytic-Uremic Syndrome
3.      Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
4.      Liver disease
5.      Primary hemostatic disorders (eg, dysfibrinogenemias; inhibitors to factors II, V, X)
6.      Thrombotic Thrombocytopenic Purpura
e)      Diagnosa Banding Leukemia Limfositik Akut (LLA)
1.      Aplastic Anemia
2.      Fanconi Anemia
3.      Juvenile Rheumatoid Arthritis
4.      Leukocytosis

5. PENATALAKSANAAN GANGGUAN HEMOSTASIS
1.      ITP (Imuno Thrombocytopenic Purpura)
Terapi suportif:
a.       Membatasi aktifitas fisik
b.      Mencegah perdarahan akibat trauma
c.       Menghindari obat yang dapat menekan produksi trombosit
Terapi farmakologi
1.      Terapi kortikosteroid
a.       Untuk menekan aktivitas mononuclear phagocyte (makrofag)sehingga mengurangi destruksi trombosit
b.      Mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit
c.       Menekan sintesis antibody
Meskipun kortikosteroid tidak menurunkan jumlah kasus kronis, kortikosteroid bermanfaat karena mengurangi keparahan dan menyingkirkan lama sakit pada fase awal. Pada kasus yang lebih berat, terapi dengan kortikosteroid, seperti prednisone dengan dosis 1-2 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi atau ekuivalensinya terindikasi. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan leukemia sebelum memulai prednisone. Terapi ini diteruskan sampai hitung trombosit normal atau selama 3 minggu.
2.      Gamma globulin
Seperti kortikosteroid, IVIG juga menyebabkan blockade pada sistem retikuloendotelial yang dapat meningkatkan jumlah trombosit dalam waktu cepat (umumnya 48 jam), sehingga merupakan pengobatan pilihan untuk ITP dengan perdarahan yang serius. Dosis besar gamma globulin IV 400 mg/kgBB selama 5 hari menginduksi remisi pada banyak kasus ITP akut dan kadang – kadang pada ITP kronis.
3.      Darah segar atau konsentrat trombosit memberi manfaat sementara karena ketahanan hidup trombosit yang ditransfusikan hanya pendek, tetapi transfuse harus diberikan bila terjadi perdarahan yang mengancam kehidupan.
4.      Splenektomi dilakukan hanya untuk ITP kronis, yang didefinisikan sebagai trombositopenia yang menetap selama lebih dari 1 tahun, dan untuk kasus berat yang tidak menunjukkan respon terhadap kortikosteroid.
                                                          
Pencegahan:
Karena penyebab langsung ITP masih belum dapat dipastikan maka pencegahan terhadap ITP pun masih belum jelas. Tetapi setidaknya ada cara atau gaya hidup yang bisa dilakukan oleh penderita ITP agar dapat hidup sebagaimana orang normal lainnya. Salah satunya menghindari
kegiatan-kegiatan keras yang berisiko menyebabkan luka perdarahan. Supaya tidak memperburuk kondisi pasien ITP saja.

2.      DIC
Terapi DIC bersifat sangat kompleks, terapi pada prinsipnya dapat berupa berikut:
a.       Terapi terhadap penyakit dasar merupakan tindakan yang paling penting. Infeksi, syok, asidosis, dan hipoksia harus diterapi segera. Jika proses yang mendasari dapat dikendalikan maka perdarahan akan menghilang dengan cepat, dan terjadi perbaikan temuan laboratorium yang abnormal.
b.      Terapi suportif diberikan pada kondisi pendarahan yang aktif
a.         FFP jika PT memanjang. Dosis: 15 ml/kg
b.         Cryoprecipitate mempertahankan faktor fibrinogen> 100 mg/dL. Dosis: 1-1.5 bags/10 kg
c.       Pemberian heparin. Dosis sangat bervariasi, umumnya dipakai 1 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan infus intravena dengan dosis 1 mg/kgBB/4 jam. Pada pemberian heparin harus diperhatikan benar tidak terdapat suatu tempat yang dapat mengakibatkan perdarahan hebat, misalnya luka, oleh karena heparin akan menghalangi proses hemostasis normal. Sampai saat ini pemberian heparin masih kontroversial karena dapat menimbulkan/menambah perdarahan.
Indikasi:
-         Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
-         Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
-         Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas.
d.      Recombinan activate protein C digunakan untuk pasien sepsis. Dosis 24 mcg/kg/jam

Pencegahan:
Pencegahan terhadap penyebab DIC.

3.      Penyakit Von Willebrand
Terapi untuk vWD adalah:
a.       Kriopresipitat adalah terapi yang dipilih untuk perdarahan berat atau persiapan terapi. Dosis yang dianjurkan adalah 4 kantong kriopresipitat/10 kg, yang dapat diulangi tiap 12 – 24 jam, tergantung pada episode perdarahan yang diterapi atau dicegah.
b.      Penderita dengan vWD tipe 1 ringan sampai sedang diberi desmopressin (DDAVP) yang dapat melepaskan vWF dari cadangan dalam endotel. Pemberian desmopressin akan menaikkan kadar FvW dan FVIII dalam plasma sebanyak 2 – 8 kali. Desmopressin dapat dilakukan secara intravena dan intranasal. Pemberian IV dilakukan melalui infus dengan dosis 0,3 mg/kgBB (maksimum 20 mg) dalam 10 – 50 ml saline selama ± 20 menit dan puncak respon dapat dilihat dalam waktu 30 menit. Sedangkan pemberian intranasal (dosis lebih tinggi) akan tampak dalam waktu 90 menit.

Pencegahan:
Karena ini adalah penyakit turunan, penyakit von Willebrand tidak bisa dicegah. Untuk mencegah terjadi komplikasi, hindari penggunaan obat-obatan jenis aspirin, ibuprofen, dan naproxen. Obat-obat ini dapat mengencerkan darah dan mencegah darah membeku jika terjadi luka.
Penderita penyakit von Willebrand bisa beraktivitas dengan normal. Tetap jaga berat badan ideal dan aktif secara fisik. Olahraga yang direkomendasikan di antaranya berjalan, bersepeda, dan berenang. Olahraga jenis ini dapat melatih kekuatan otot dan kelenturan sendi. Sementara itu, sebaiknya hindari olahraga yang rawan benturan. Seperti sepakbola, gulat, atau hoki.







4.      Hemophilia
Tata laksana pasien hemofilia harus bersifat komprehensif dan multidisiplin, melibatkan tenaga medis di bidang hematologi, bedah ortopedi, gigi, psikiatri, rehabilitasi medik, serta unit transfusi darah. Terapi terdiri atas:
a.       Pemberian F.VIII untuk hemofili A dan F.IX untuk hemofili B selama hidup
b.      Pencegahan kecacatan dengan pendidikan kesehatan
c.       Rehabilitasi apabila terjadi kerusakan sendi

Tatalaksana pada penderita hemophilia:
1.      Bila terjadi perdarahan akut pada sendi/otot, sebagai pertolongan pertama perlu dilakukan RICE (rest, ice, compression, elevation).
2.      FFP (Fresh Frozen Plasma)
Diberikan pada penderita yang mengalami perdarahan yang memerlukan tindakan segera dimana diagnosis pasti belum diketahui dan faktor konsentrat belum tersedia. Setiap 1 cc plasma segar beku mengandung 0.6-0.7 unit FVIII. Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis pemakaian adalah 10-15 ml/kgbb. Dengan interval 8-12 jam. Bila diberikan melebihi 30 ml/kgbb dalam 24 jam dan lebih dari 2-3 hari dapat menimbulkan gangguan sirkulasi walaupun pada anak normal
3.      Dalam waktu kurang dari 2 jam pasien harus mendapat replacement therapy faktor VIII/IX.
a.       Hemophilia A
Beri transfusi kriopresipitat atau konsentrat faktor VIII dengan dosis 0,5 x BB(kg) x % (target kadar plasma – kadar F VII/IX pasien). 1 kantong kriopresipitat mengandung sekitar 80 U faktor VIII. Krioprecipitat mengandung F.VIII ,vWF, fibrinogen, F.XIII.
Dapat juga dipakai dosis rumatan empiris, yaitu untuk faktor VIII 20-25 U/kg setiap 12 jam.
b.      Hemophilia B
Diberikan faktor IX 40-50 U/kg setiap 24 jam

Tabel 5.1 Kebutuhan faktor VIII di bawah ini dapat dipakai sebagai pegangan pada perdarahan atau tindakan
Perdarahan/Tindakan
Kadar Faktor VIII (% dari normal)
Hemartrosis ringan
15 – 20 %
Hemartrosis berat/operasi kecil
20 – 40 %
Operasi besar
60 – 80 %
Perdarahan intrakranial
100%

Lamanya pemberian tergantung pada beratnya perdarahan atau jenis tindakan. Misalnya untuk pencabutan gigi atau epistaksis, diberikan selama 2 – 5 hari, sedangkan operasi lebih besar atau laserasi luas 7 – 14 hari.
4.      Selain replacement therapy, dapat diberikan terapi ajuvan untuk pasien hemofilia, yaitu :
a.       Desmopresin (1-deamino-8-D-arginine vasopressin atau DDAVP).
Dosis: 0,3 mg/kg (meningkatkan kadar F VIII 3-6x dari baseline).
Cara pemberian: DDAVP dilarutkan dalam 50-100 ml normal saline, diberikan melalui infus perlahan dalam 20-30 menit.
DDAVP juga dapat diberikan intranasal, dengan menggunakan preparat DDAVP nasal spray. Dosis DDAVP intranasal yaitu 300 mg, setara dengan dosis intravena 0,3 mg/kg. DDAVP intranasal terutama sangat berguna untuk mengatasi perdarahan minor pasien hemofilia ringan-sedang di rumah.
Efek samping DDAVP: takikardi, flushing, tremor, dan nyeri perut (terutama pada pemberian intravena yang terlalu cepat), retensi cairan dan hiponatremia.

b.      Asam traneksamat
Asam Traneksamat mencegah degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor koagulasi.
Indikasi : perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi.
Kontra indikasi : perdarahan saluran kemih (risiko obstruksi saluran kemih akibat bekuan darah).
Dosis : 25 mg/kgBB/kali, 3 x sehari, oral/intravena. Dapat diberikan selama 5-10 hari.


















Pencegahan:
1.      Perawatan sendi untuk mencegah terjadinya ankilosis
2.      Perawatan gigi
3.      Pendidikan kesehatan untuk menghindari trauma (seminimal mungkin), serta hindari pemberian injeksi intramuskuler
4.      Hindari pemberian aspirin






5.  Defisiensi Vitamin K
      Bayi dan anak yang mengalami perdarahan akibat kekurangan vitamin K harus segera mendapatkan vitamin K. Vitamin K tidak boleh diberikan secara IM karena di tempat suntikan akan terbentuk hematoma, sebaiknya diberikan secara subkutan karena absorbsinya cepat dan efeknya hanya sedikit lebih lambat dibandingkan dengan pemberian secara sistemik.
      Bila diberikan secara subkutan, dosis yang diberikan 5-10 mg dengan dosis tunggal biasanya memberikan perbaikan PT dalam waktu 12-24 jam.
      Pemberian secara intravena dapat juga diberikan, tetapi harus hati-hati karena dapat terjadi reaksi anafilaksis dengan dosis 1 mg untuk 2-3 kali pemberian dengan interval waktu 6-8 jam.
      Apabila terjadi perdarahan hebat, disamping pemberian vitamin K juga harus segera diberikan FFP dengan dosis 10-15 mg/kgBB.

Pencegahan:
Pemberian vitamin K profilaksis pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun dosis 1 mg IM dosis tunggal atau  2 mg selama 3 kali per oral.

6.Penatalaksanaaan Skorbut
            Pengobatannya : dengan memberikan vitamin C 200mg/hari selama satu minggu, kemudian dikurangi perlahan-lahan sampai satu bulan.


6. Komplikasi dan prognosis
a.      Komplikasi
1.      ITP
a)      Perdarahan intrakranial
b)      Perdarahan GI
c)      Perdarahan SSP
2.      Von Willebrand
a)      Perdarahan GI
b)      Nyeri pada persendian
3.      DIC
a)      Syok
b)      Koma
c)      Gagal ginjal
d)     Gagal napas
e)      Iskemia
f)       Edema pulmoner
g)      Stroke
4.      Hemofilia
a)      Artropati hemofilia
b)      Sinovitis
c)      Perdarahan intrakranial
5.      Scurvy disease
a)      Penyakit gusi
b)      Sindrom sjogren

b.      Prognosis
1.      ITP
50 – 60 % penderita berespons dengan kortikosteroid. Penderita ITP dewasa dapat mengalami remisi spontan (2%), menjadi kronis (tidak mengalami remisi komplit setelah kortikosteroid dan splenektomi) sebanyak 43%. Kematian biasanya disebabkan perdarahan serebral (3%), perdarahan berat lain (4%).
2.      Von willebrand
Tingkat kematian VWD mendekati nol di negara-negara Barat karena kemampuan untuk mendiagnosa penyakit dan mengobatinya dengan aman dan efektif.
3.      DIC
Prognosis untuk pasien DIC biasanya buruk, 10-50% mengalami kematian bergantung pada luas thrombosisnya dan komplikasinya, pasien dengan sepsis / infeksi mempunyai % kematian lebih tinggi yang signifikan.
4.      Hemofilia
Bila penanganannya adekuat dalam medikasi dan psikologis maka  umumnya prognosisnya  tidak  buruk,  tetapi  bila  tidak  ditangani dengan tepat dan adekuat dan pasien tidak menjaga diri, maka prognosis akan buruk dan bisa menyebabkan kematian.
5.      Scurvy disease
Skorbut yang tidak diobati ini selalu fatal. Namun, kematian akibat skorbut langka di zaman modern. Karena semua yang diperlukan untuk pemulihan penuh adalah dimulainya kembali asupan vitamin C yang normal, mudah untuk mengobati jika diidentifikasi dengan benar. Konsumsi suplemen makanan dan / atau buah jeruk adalah cara yang digunakan untuk mencapai hal ini.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Volume 2.Jakarta: EGC
2.      Permono H B, Sutaryo, dkk. 2012. Buku Ajar Hematologi -  Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
3.      Permono HB, sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastutu E, Abdulsalam M. 2012. Buku ajar hematologi dan onkologi anak. Jakarta. Badan penerbit IDAI.
4.      Guyton Arthur C, Hall John E; alih bahasa, Irawati … (et al); editor edisi bahasa Indonesia, Rachman Luqman Y … (et al). 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 11. Jakarta: EGC. 480-86
5.      Hoffbrand A.V dan Moss P.A.H; alih bahasa, U Brham, Setiawan Liana, Iriani Anggraini; editor bahasa Indonesia, Sandra Ferdy. 20013. Kapita selekta hematologi, edisi 6. Jakarta: EGC.
6.      Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (Editor).  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed V 2009; Jakarta; InternaPublishing,
7.      I Made Bakta, Prof. Dr. Hemostasis. Hematologi Klinik Ringkas. 2012: Jakarta.
8.      Sutaryo P.H. dkk. Buku Ajar Hematologi Onklologi anak. 2012. Nadan Penerbit IDAI: Jakarta
9.       Staf Pengajar IKA FK UI. (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta: Bagian IKA FK UI.
10.   Schwartz M.William, Pedoman Klinis Pediatri. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta, 2005.
11.  UKK Hemato-Onkologi IDAI. 2013. Penanganan Perdarahan Akut pada Hemofilia. Diakses dari: http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/penanganan-perdarahan-akut-pada-hemofilia.html
12.  Zaiden R A. 2014. Hemophilia B Treatment & Management. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/779434-treatment
13.  Disseminated Intravascular Coagulation. 2010. Dalam jurnal Pediatric Care Online. Amerika Academy of Pediatric. Diakses dari:


1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino Resort - Mapyro
    Get directions, 세종특별자치 출장마사지 reviews 부산광역 출장안마 and information for Harrah's Cherokee Casino Resort in Cherokee, NC. 안산 출장샵 Map & Directions to Harrah's 태백 출장안마 Cherokee 화성 출장안마 Casino

    BalasHapus

Silahkan memberi komentar yang membangun dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan.